Bismillahirrahmaanirrahiim...
Sebagian orang membid’ahkan panggilan Sayyidinaa atau Maulana didepan
nama Muhammad Rasulallah saw., dengan alasan bahwa Rasulallah saw.
sendiri yang menganjurkan kepada kita tanpa mengagung-agungkan dimuka
nama beliau saw.
Memang golongan ini mudah sekali membid’ahkan sesuatu
amalan tanpa melihat motif makna yang dimaksud Bid’ah itu apa. Mari kita
rujuk ayat-ayat Ilahi dan hadits-hadits Rasulallah saw. yang berkaitan
dengan kata-kata sayyid.
Syeikh Muhammad Sulaiman Faraj dalam risalahnya yang berjudul panjang
yaitu Dala’ilul-Mahabbah Wa Ta’dzimul-Maqam Fis-Shalati Was-Salam ‘AN
Sayyidil-Anam dengan tegas mengatakan: Menyebut nama Rasulallah saw.
dengan tambahan kata Sayyidina (junjungan kita) didepannya merupakan
suatu keharusan bagi setiap muslim yang mencintai beliau saw.
Sebab kata
tersebut menunjukkan kemuliaan martabat dan ketinggian kedudukan
beliau. Allah swt.memerintahkan ummat Islam supaya menjunjung tinggi
martabat Rasulallah saw., menghormati dan memuliakan beliau, bahkan
melarang kita memanggil atau menyebut nama beliau dengan cara
sebagaimana kita menyebut nama orang diantara sesama kita. Larangan
tersebut tidak berarti lain kecuali untuk menjaga kehormatan dan
kemuliaan Rasulallah saw. Allah swt.berfirman :
“Janganlah kalian memanggil Rasul (Muhammad) seperti kalian memanggil sesama orang diantara kalian”. (S.An-Nur : 63).
Dalam tafsirnya mengenai ayat diatas ini Ash-Shawi mengatakan: Makna
ayat itu ialah janganlah kalian memanggil atau menyebut nama Rasulallah
saw. cukup dengan nama beliau saja, seperti Hai Muhammad atau cukup
dengan nama julukannya saja Hai Abul Qasim. Hendaklah kalian menyebut
namanya atau memanggilnya dengan penuh hormat, dengan menyebut kemuliaan
dan keagungannya.
Demikianlah yang dimaksud oleh ayat tersebut diatas.
Jadi, tidak patut bagi kita menyebut nama beliau saw.tanpa menunjukkan
penghormatan dan pemuliaan kita kepada beliau saw., baik dikala beliau
masih hidup didunia maupun setelah beliau kembali keharibaan Allah swt.
Yang sudah jelas ialah bahwa orang yang tidak mengindahkan ayat tersebut
berarti tidak mengindahkan larangan Allah dalam Al-Qur’an. Sikap
demikian bukanlah sikap orang beriman.
Menurut Ibnu Jarir, dalam menafsirkan ayat tersebut Qatadah mengatakan :
Dengan ayat itu (An-Nur:63) Allah memerintahkan ummat Islam supaya
memuliakan dan mengagungkan Rasulallah saw.
Dalam kitab Al-Iklil Fi Istinbathit-Tanzil Imam Suyuthi mengatakan:
Dengan turunnya ayat tersebut Allah melarang ummat Islam menyebut beliau
saw. atau memanggil beliau hanya dengan namanya, tetapi harus menyebut
atau memanggil beliau dengan Ya Rasulallah atau Ya Nabiyullah. Menurut
kenyataan sebutan atau panggilan demikian itu tetap berlaku, kendati
beliau telah wafat.
Dalam kitab Fathul-Bari syarh Shahihil Bukhori juga terdapat penegasan
seperti tersebut diatas, dengan tambahan keterangan sebuah riwayat
berasal dari Ibnu ‘Abbas ra. yang diriwayatkan oleh Ad-Dhahhak, bahwa
sebelum ayat tersebut turun kaum Muslimin memanggil Rasulallah saw.
hanya dengan Hai Muhammad, Hai Ahmad, Hai Abul-Qasim dan lain
sebagainya. Dengan menurunkan ayat itu Allah swt. melarang mereka
menyebut atau memanggil Rasulallah saw. dengan ucapan-ucapan tadi.
Mereka kemudian menggantinya dengan kata-kata : Ya Rasulallah, dan Ya
Nabiyullah.
Hampir seluruh ulama Islam dan para ahli Fiqih berbagai madzhab
mempunyai pendapat yang sama mengenai soal tersebut, yaitu bahwa mereka
semuanya melarang orang menggunakan sebutan atau panggilan sebagaimana
yang dilakukan orang sebelum ayat tersebut diatas turun.
Didalam Al-Qur’an banyak terdapat ayat-ayat yang mengisyaratkan makna
tersebut diatas. Antara lain firman Allah swt. dalam surat Al-A’raf :
157 ; Al-Fath : 8-9, Al-Insyirah : 4 dan lain sebagainya. Dalam
ayat-ayat ini Allah swt. memuji kaum muslimin yang bersikap hormat dan
memuliakan Rasulallah saw., bahkan menyebut mereka sebagai orang-orang
yang beruntung. Juga firman Allah swt. mengajarkan kepada kita tatakrama
yang mana dalam firman-Nya tidak pernah memanggil atau menyebut
Rasul-Nya dengan kalimat Hai Muhammad, tetapi memanggil beliau dengan
kalimat Hai Rasul atau Hai Nabi.
Firman-firman Allah swt. tersebut cukup gamblang dan jelas membuktikan
bahwa Allah swt. mengangkat dan menjunjung Rasul-Nya sedemikian tinggi,
hingga layak disebut sayyidina atau junjungan kita Muhammad Rasulallah
saw. Menyebut nama beliau saw. tanpa diawali dengan kata yang menunjuk-
kan penghormatan, seperti sayyidina tidak sesuai dengan pengagungan yang
selayaknya kepada kedudukan dan martabat beliau.
Dalam surat Aali-‘Imran:39 Allah swt. menyebut Nabi Yahya as. dengan predikat sayyid :
“…Allah memberi kabar gembira kepadamu (Hai Zakariya) akan kelahiran
seorang puteramu, Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang dari)
Allah, seorang sayyid (terkemuka, panutan), (sanggup) menahan diri (dari
hawa nafsu) dan Nabi dari keturunan orang-orang sholeh”.
Para penghuni neraka pun menyebut orang-orang yang menjerumuskan mereka
dengan istilah saadat (jamak dari kata sayyid), yang berarti para
pemimpin. Penyesalan mereka dilukiskan Allah swt.dalam firman-Nya :
“Dan mereka (penghuni neraka) berkata : ‘Ya Tuhan kami, sesungguhnya
kami telah mentaati para pemimpin (sadatanaa) dan para pembesar kami,
lalu mereka menyesatkan kami dari jalan yang benar”. (S.Al-Ahzab:67).
Juga seorang suami dapat disebut dengan kata sayyid, sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah swt. dalam surat Yusuf : 25 :
“Wanita itu menarik qamis (baju) Yusuf dari belakang hingga koyak,
kemudian kedua-duanya memergoki sayyid (suami) wanita itu didepan
pintu”. Dalam kisah ini yang dimaksud suami ialah raja Mesir.
Demikian juga kata Maula yang berarti pengasuh, penguasa, penolong dan
lain sebagainya. Banyak terdapat didalam Al-Qur’anul-Karim kata-kata
ini, antara lain dalam surat Ad-Dukhan: 41 Allah berfirman :
“…Hari (kiamat) dimana seorang maula (pelindung) tidak dapat memberi
manfaat apa pun kepada maula (yang dilindunginya) dan mereka tidak akan
tertolong”.
Juga dalam firman Allah swt. dalam Al-Maidah : 55 disebutkan juga kalimat Maula untuk Allah swt., Rasul dan orang yang beriman.
Jadi kalau kata sayyid itu dapat digunakan untuk menyebut Nabi Yahya
putera Zakariya, dapat digunakan untuk menyebut raja Mesir, bahkan dapat
juga digunakan untuk menyebut pemimpin yang semuanya itu menunjuk kan
kedudukan seseorangalasan apa yang dapat digunakan untuk menolak
sebutan sayyid bagi junjungan kita Nabi Muhammad saw. Demikian pula
soal penggunaan kata maula . Apakah bid’ah jika seorang menyebut nama
seorang Nabi yang diimani dan dicintainya dengan awalan sayyidina atau
maulana ?!
Mengapa orang yang menyebut nama seorang pejabat tinggi pemerintahan,
kepada para president, para raja atau menteri, atau kepada diri
seseorang dengan awalan ‘Yang Mulia’ tidak dituduh berbuat bid’ah ?
Tidak salah kalau ada orang yang mengatakan, bahwa sikap menolak
penggunaan kata sayyid atau maula untuk mengawali penyebutan nama
Rasulallah saw. itu sesungguhnya dari pikiran meremehkan kedudukan dan
martabat beliau saw. Atau sekurang-kurang hendak menyamakan kedudukan
dan martabat beliau saw. dengan manusia awam/biasa.
Sebagaimana kita ketahui, dewasa ini masih banyak orang yang menyebut
nama Rasulallah saw. tanpa diawali dengan kata sayyidina dan tanpa
dilanjutkan dengan kalimat sallahu ‘alaihi wasallam (saw). Menyebut nama
Rasulallah dengan cara demikian menunjukkan sikap tak kenal hormat pada
diri orang yang bersangkutan. Cara demikian itu lazim dilakukan oleh
orang-orang diluar Islam, seperti kaum orientalis barat dan lain
sebagainya. Sikap kaum orientalis ini tidak boleh kita tiru.
Banyak hadits-hadits shohih yang menggunakan kata sayyid, beberapa diantaranya ialah :
“Setiap anak Adam adalah sayyid. Seorang suami adalah sayyid bagi
isterinya dan seorang isteri adalah sayyidah bagi keluarganya (rumah
tangga nya)”. (HR Bukhori dan Adz-Dzahabi).
Jadi kalau setiap anak Adam saja dapat disebut sayyid, apakah anak Adam
yang paling tinggi martabatnya dan paling mulia kedudukannya disisi
Allah yaitu junjungan kita Nabi Muhammad saw. tidak boleh disebut
sayyid ?
Hadits riwayat Imam Bukhori, Rasulallah saw bersabda: "Janganlah kalian
berkata (kepada seorang budak kepada majikannya), 'beri makan Rabb mu,
wudhu kan Rabb mu, tapi ucapkanlah Sayyidi dan Maulaya (tuanku dan
Junjunganku)', dan jangan pula kalian (para pemilik budak) berkata pada
mereka,'wahai Hambaku, tapi ucapkanlah : wahai anak, wahai pembantu"
(shahih Bukhari hadits no.2414) hadits semakna dalam Shahih Muslim
hadits no.2249).
Rasulallah saw. membolehkan ucapan sayyidi (tuanku) atau maulaya (tuan
muliaku) seorang budak terhadap tuannya, dan berkata para ahli hadits,
kalau antara tuan yg memiliki budak saja boleh menggunakan Sayyidi wa
Maulaya., atau sayyidina wa maulana, maka sungguh Nabi saw jauh lebih
berhak dari semua pemilik budak itu.
Didalam shohih Muslim terdapat sebuah hadits, bahwasanya Rasulallah saw.
memberitahu para sahabatnya, bahwa pada hari kiamat kelak Allah swt.
akan menggugat hamba-hambaNya : “Bukankah engkau telah Ku-muliakan dan
Ku-jadikan sayyid ?” (alam ukrimuka wa usawwiduka?)
Makna hadits itu ialah, bahwa Allah swt. telah memberikan kemuliaan dan
kedudukan tinggi kepada setiap manusia. Kalau setiap manusia dikarunia
kemuliaan dan kedudukan tinggi, apakah manusia pilihan Allah yang diutus
sebagai Nabi dan Rasul tidak jauh lebih mulia dan lebih tinggi
kedudukan dan martabatnya daripada manusia lainnya ? Kalau
manusia-manusia biasa saja dapat disebut sayyid , mengapa Rasulallah
saw. tidak boleh disebut sayyid atau maula ?
Dalil-dalil orang yang membantah dan jawabannya
– Ada sementara orang terkelabui oleh pengarang hadits palsu yang
berbunyi: “Laa tusayyiduunii fis-shalah” artinya “Jangan menyebutku
(Nabi Muhammad saw) sayyid didalam sholat”. Tampaknya pengarang hadits
palsu yang mengatas namakan Rasulallah saw. untuk mempertahankan
pendiriannya itu lupa atau memang tidak mengerti bahwa didalam bahasa
Arab tidak pernah terdapat kata kerja tusayyidu.
Tidak ada kemungkinan
sama sekali Rasulallah saw.mengucapkan kata-kata dengan bahasa Arab
gadungan seperti yang dilukiskan oleh pengarang hadits palsu tersebut.
Dilihat dari segi bahasanya saja, hadits itu tampak jelas kepalsuannya.
Namun untuk lebih kuat membuktikan kepalsuan hadits tersebut baiklah
kami kemukakan beberapa pendapat yang dinyatakan oleh para ulama.
Dalam kitab Al-Hawi , atas pertanyaan mengenai hadits tersebut Imam
Jalaluddin As-Suyuthi menjawab tegas : “Tidak pernah ada (hadits
tersebut), itu bathil !”.
Imam Al-Hafidz As-Sakhawi dalam kitab Al-Maqashidul-Al-Hasanah menegaskan : “ Hadits itu tidak karuan sumbernya ! “
Imam Jalaluddin Al-Muhli, Imam As-Syamsur-Ramli, Imam Ibnu Hajar
Al-Haitsami, Imam Al-Qari, para ahli Fiqih madzhab Sayfi’i dan madzhab
Maliki dan lain-lainnya, semuanya mengatakan : “Hadits itu sama sekali
tidak benar”.
– Selain hadits palsu diatas tersebut, masih ada hadits palsu lainnya
yang semakna, yaitu yang berbunyi : “La tu’adzdzimuunii fil-masjid”
artinya ; “Jangan mengagungkan aku (Nabi Muhammad saw.) di masjid”.
Dalam kitab Kasyful Khufa Imam Al-Hafidz Al-‘Ajluni dengan tegas
mengata- kan: “Itu bathil !”. Demikian pula Imam As-Sakhawi dalam kitab
Maulid-nya yang berjudul Kanzul-‘Ifah menyatakan tentang hadits ini:
“Kebohongan yang diada-adakan”.
Memang masuk akal kalau ada orang yang berkata seperti itu yakni jangan
mengagungkan aku di masjid kepada para hadirin didalam masjid, sebab
ucapannya itu merupakan tawadhu’ (rendah hati). Akan tetapi kalau
dikatakan bahwa perkataan tersebut diucapkan oleh Rasulallah saw. atau
sebagai hadits beliau saw., jelas hal itu suatu pemalsuan yang terlampau
berani.
Mari kita lanjutkan tentang hadits-hadits yang menggunakan kata sayyid berikut ini:
– Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dalam Shohihnya bahwa
Rasulallah saw.bersabda : “Aku sayyid anak Adam…” . Jelaslah bahwa kata
sayyid dalam hal ini berarti pemimpin ummat, orang yang paling
terhormat dan paling mulia dan paling sempurna dalam segala hal sehingga
dapat menjadi panutan serta teladan bagi ummat yang dipimpinnya.
Ibnu ‘Abbas ra mengatakan, bahwa makna sayyid dalam hadits tersebut
ialah orang yang paling mulia disisi Allah. Qatadah ra. mengatakan,
bahwa Rasulallah saw. adalah seorang sayyid yang tidak pernah dapat
dikalahkan oleh amarahnya.
– Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu Majah dan At-Turmudzi, Rasulallah saw. bersabda :
“Aku adalah sayyid anak Adam pada hari kiamat”. Surmber riwayat lain
yang diketengahkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Bukhori dan Imam
Muslim, mengatakan bahwa Rasulallah saw. bersabda : “Aku sayyid semua
manusia pada hari kiamat”.
Hadit tersebut diberi makna oleh Rasulallah saw. sendiri dengan
penjelas- annya: ‘Pada hari kiamat, Adam dan para Nabi keturunannya
berada dibawah panjiku”.
Sumber riwayat lain mengatakan lebih tegas lagi, yaitu bahwa Rasulallah saw. bersabda : “Aku sayyid dua alam”.
– Riwayat yang berasal dari Abu Nu’aim sebagaimana tercantum didalam
kitab Dala’ilun-Nubuwwah mengatakan bahwa Rasulallah saw. bersabda :
“Aku sayyid kaum Mu’minin pada saat mereka dibangkitkan kembali (pada
hari kiamat)”.
– Hadits lain yang diriwayatkan oleh Al-Khatib mengatakan, bahwa
Rasulallah saw. bersabda: “Aku Imam kaum muslimin dan sayyid kaum yang
bertaqwa”.
– Sebuah hadits yang dengan terang mengisyaratkan keharusan menyebut
nama Rasulallah saw. diawali dengan kata sayyidina diketengahkan oleh
Al-Hakim dalam Al-Mustadrak. Hadits yang mempunyai isnad shohih ini
berasal dari Jabir bin ‘Abdullah ra. yang mengatakan sebagai berikut:
“Pada suatu hari kulihat Rasulallah saw. naik keatas mimbar. Setelah
memanjatkan puji syukur kehadirat Allah saw. beliau bertanya : ‘Siapakah
aku ini ?’ Kami menyahut: Rasulallah ! Beliau bertanya lagi: ‘Ya,
benar, tetapi siapakah aku ini ?’. Kami menjawab : Muhammad bin
‘Abdullah bin ‘Abdul-Mutthalib bin Hasyim bin ‘Abdi Manaf ! Beliau
kemudian menyatakan : ‘Aku sayyid anak Adam….’.”
Riwayat hadits ini menjelaskan kepada kita bahwa Rasulallah saw. lebih
suka kalau para sahabatnya menyebut nama beliau dengan kata sayyid.
Dengan kata sayyid itu menunjukkan perbedaan kedudukan beliau dari
kedudukan para Nabi dan Rasul terdahulu, bahkan dari semua manusia
sejagat.
Semua hadits tersebut diatas menunjukkan dengan jelas, bahwa Rasulallah
saw. adalah sayyid anak Adam, sayyid kaum muslimin, sayyid dua alam
(al-‘alamain), sayyid kaum yang bertakwa. Tidak diragukan lagi bahwa
menggunakan kata sayyidina untuk mengawali penyebutan nama Rasulallah
saw. merupakan suatu yang dianjurkan bagi setiap muslim yang mencintai
beliau saw.
– Demikian pula soal kata Maula, Imam Ahmad bin Hanbal di dalam
Musnadnya, Imam Turmduzi, An-Nasa’i dan Ibnu Majah mengetengahkan sebuah
hadits, bahwa Rasulallah saw. bersabda :
“Man kuntu maulahu fa ‘aliyyun maulahu” artinya : “Barangsiapa aku
menjadi maula-nya (pemimpinnya). ‘Ali (bin Abi Thalib) adalah
maula-nya…”
– Dari hadits semuanya diatas tersebut kita pun mengetahui dengan jelas
bahwa Rasulallah saw. adalah sayyidina dan maulana (pemimpin kita).
Demikian juga para ahlu-baitnya (keluarganya), semua adalah sayyidina.
Al-Bukhori meriwayatkan bahwa Rasulallah saw. pernah berkata kepada
puteri beliau, Siti Fathimah ra :
يَا فَاطِمَة أَمَا تَرْضيْنَ أَنْ
تَكُوْنِي سَيِّدَةَ نِسَاءِ الْمُؤْمِنِيْنَ اَوْ سَيِّدَةَ نِسَاءِ
هَذِهِ الأُمَّةِ
Artinya: “Hai Fathimah, apakah engkau tidak puas menjadi sayyidah kaum
mu’minin (kaum orang-orang yang beriman) atau sayyidah kaum wanita ummat
ini ?”
– Dalam shohih Muslim hadits tersebut berbunyi:
يَا فَاطِمَة أَمَا تَرْضيْنَ أَنْ
تَكُوْنِي سَيِّدَةَ نِسَاءِ الْمُؤْمِناَتِ اَوْ سَيِّدَةَ نِسَاءِ هَذِهِ
الأُمَّةِ
Artinya : “Hai Fathimah, apakah engkau tidak puas menjadi sayyidah
mu’mininat (kaum wanitanya orang-orang yang beriman) atau sayyidah kaum
wanita ummat ini ?”
– Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad, Rasulallah saw. berkata kepada puterinya (Siti Fathimah ra) :
أَمَا تَرْضيْنَ أَنْ تَكُوْنِي سَيِّدَةَ نِسَاء هَذِهِ الأُمَّةِ اَوْ نِسَاءِ الْعَالَمِينَ
Artinya : “…Apakah engkau tidak puas menjadi sayyidah kaum wanita ummat ini, atau sayyidah kaum wanita sedunia ?”
Demikianlah pula halnya terhadap dua orang cucu Rasulallah saw. Al-Hasan
dan Al-Husain radhiyallahu ‘anhuma. Imam Bukhori dan At-Turmudzi
meriwayatkan sebuah hadits yang berisnad shohih bahwa pada suatu hari
Rasulallah saw. bersabda :
الحَسَنُ وَ الحُسَيْنُ سَيِّدَا شَبَابِ أَهْلِ الْجَنَّةِ
Artinya : “Al-Hasan dan Al-Husain dua orang sayyid pemuda ahli surga”.
Berdasarkan hadits-hadits diatas itu kita menyebut puteri Rasulallah
saw. Siti Fathimah Az-Zahra dengan kata awalan sayyidatuna. Demikianlah
pula terhadap dua orang cucu Rasulallah saw. Al-Hasan dan Al-Husain
radhiyallahu ‘anhuma.
– Ketika Sa’ad bin Mu’adz ra. diangkat oleh Rasulallah saw. sebagai
penguasa kaum Yahudi Bani Quraidah (setelah mereka tunduk kepada
kekuasaan kaum muslimin), Rasulallah saw. mengutus seorang memanggil
Sa’ad supaya datang menghadap beliau. Sa’ad datang berkendaraan keledai,
saat itu Rasulallah saw. berkata kepada orang-orang yang hadir: “Guumuu
ilaa sayyidikum au ilaa khoirikum” artinya : “Berdirilah menghormati
sayyid (pemimpin) kalian, atau orang terbaik diantara kalian”.
Rasulallah saw. menyuruh mereka berdiri bukan karena Sa’ad dalam keadaan
sakit sementara fihak menafsirkan mereka disuruh berdiri untuk
menolong Sa’ad turun dari keledainya, karena dalam keadaan sakit sebab
jika Sa’ad dalam keadaan sakit, tentu Rasulallah saw. tidak menyuruh
mereka semua menghormat kedatangan Sa’ad, melainkan menyuruh beberapa
orang saja untuk berdiri menolong Sa’ad.
Sekalipun –misalnya– Rasulallah saw. melarang para sahabatnya berdiri
menghormati beliau saw, tetapi beliau sendiri malah memerintahkan mereka
supaya berdiri menghormati Sa’ad bin Mu’adz, apakah artinya ? Itulah
tatakrama Islam. Kita harus dapat memahami apa yang dikehendaki oleh
Rasulallah saw. dengan larangan dan perintahnya mengenai soal yang sama
itu. Tidak ada ayah, ibu , kakak dan guru yang secara terang-terangan
minta dihormati oleh anak, adik dan murid, akan tetapi si anak, si adik
dan si murid harus merasa dirinya wajib menghormati ayahnya, ibunya,
kakaknya dan gurunya. Demikian juga Rasulallah saw. sekalipun beliau
menyadari kedudukan dan martabatnya yang sedemikian tinggi disisi Allah
swt, beliau tidak menuntut supaya ummatnya memuliakan dan
mengagung-agungkan beliau. Akan tetapi kita, ummat Rasulallah saw.,
harus merasa wajib menghormati, memuliakan dan mengagungkan beliau saw.
Allah swt. berfirman dalam Al-Ahzab: 6 : “Bagi orang-orang yang beriman,
Nabi (Muhammad saw.) lebih utama daripada diri mereka sendiri, dan para
isterinya adalah ibu-ibu mereka”.
Ibnu ‘Abbas ra. menyatakan: Beliau adalah ayah mereka’ yakni ayah semua
orang beiman! Ayat suci diatas ini jelas maknanya, tidak memerlukan
penjelasan apa pun juga, bahwa Rasulallah saw. lebih utama dari semua
orang beriman dan para isteri beliau wajib dipandang sebagai ibu-ibu
seluruh ummat Islam ! Apakah setelah keterangan semua diatas ini orang
yang menyebut nama beliau dengan tambahan kata awalan sayyidina atau
maulana pantas dituduh berbuat bid’ah? Semoga Allah swt. memberi hidayah
kepada kita semua. Amin
– Ibnu Mas’ud ra. mengatakan kepada orang-orang yang menuntut ilmu
kepadanya: “Apabila kalian mengucapkan shalawat Nabi hendaklah kalian
mengucapkan shalawat dengan sebaik-baiknya. Kalian tidak tahu bahwa
sholawat itu akan disampaikan kepada beliau saw., karena itu ucapkanlah :
‘Ya Allah, limpahkanlah shalawat-Mu, rahmat-Mu dan berkah-Mu kepada
Sayyidul-Mursalin (pemimpin para Nabi dan Rasulallah) dan
Imamul-Muttaqin (Panutan orang-orang bertakwa)”
– Para sahabat Nabi juga menggunakan kata sayyid untuk saling menyebut
nama masing-masing, sebagai tanda saling hormat-menghormati dan
harga-menghargai. Didalam Al-Mustadrak Al-Hakim mengetengahkan sebuah
hadits dengan isnad shohih, bahwa “Abu Hurairah ra. dalam menjawab
ucapan salam Al-Hasan bin ‘Ali ra. selalu mengatakan “Alaikassalam ya
sayyidi”. Atas pertanyaan seorang sahabat ia menjawab: ‘Aku mendengar
sendiri Rasulallah saw. menyebutnya (Al-Hasan ra.) sayyid’ “.
– Ibnu ‘Athaillah dalam bukunya Miftahul-Falah mengenai pembicaraannya
soal sholawat Nabi mewanti-wanti pembacanya sebagai berikut: “Hendaknya
anda berhati-hati jangan sampai meninggalkan lafadz sayyidina dalam
bersholawat, karena didalam lafadz itu terdapat rahasia yang tampak
jelas bagi orang yang selalu mengamalkannya”. Dan masih banyak lagi
wejangan para ulama pakar cara sebaik-baiknya membaca sholawat pada
Rasulallah saw. yang tidak tercantum disini.
Nah, kiranya cukuplah sudah uraian diatas mengenai penggunaan kata
sayyidina atau maulana untuk mengawali penyebutan nama Rasulallah saw.
Setelah orang mengetahui banyak hadits Nabi yang menerangkan persoalan
itu yakni menggunakan kata awalan sayyid, apakah masih ada yang
bersikeras tidak mau menggunakan kata sayyidina dalam menyebut nama
beliau saw.?, dan apanya yang salah dalam hal ini ?
Apakah orang yang demikian itu hendak mengingkari martabat Rasulallah
saw. sebagai Sayyidul-Mursalin (penghulu para Rasulallah) dan Habibu
Rabbil-‘alamin (Kesayangan Allah Rabbul ‘alamin) ?
Bagaimana tercelanya orang yang berani membid’ahkan penyebutan sayyidina
atau maulana dimuka nama beliau saw.? Yang lebih aneh lagi sekarang
banyak diantara golongan pengingkar ini sendiri yang memanggil nama satu
sama lain diawali dengan sayyid atau minta juga agar mereka dipanggil
sayyid dimuka nama mereka! Begitu juga orang yang ekstrim ini, bila
duduk disatu majlis kemudian datang seorang ulama dimajlis tersebut,
mereka ini sampai-sampai berani mengharamkan orang untuk berdiri
penghormatan kepada ulama ini.
Padahal banyak contoh dalam hadits antara
lain yang telah kami kemukakan, para sahabat berdiri untuk para
pemimpinnya atau utk orang yang dipandang mulia oleh mereka. Berdiri
untuk penghormatan itu bukan suatu yang wajib tetapi tata krama yang
diajarkan oleh Rasulallah saw, untuk seorang yang berilmu atau para
wauliya sholihin. Sekali lagi untuk mengharamkan sesuatu itu harus ada
dalilnya yg jelas dan tegas masalah tsb.