Senin, 18 Juni 2012

✽SEPUTAR HAIDH DAN ISTIKHADOH✽

Bismillahirrahmaairrahiim...

I. HAIDH
Definisi umum darah haidh adalah darah yang keluar secara alami dari rahim bagian dalam wanita (yang normal) pada waktu-waktu tertentu. Yang dimaksud dengan “Alami” disini adalah keluarnya darah tersebut tanpa sebab-sebab tertentu (contohnya kontraksi rahim pada wanita yang hendak melahirkan).

Dalil hukum haidh berasal dari QS Al Baqarah : 222, yang berbunyi :
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh, katakanlah ‘Haidh itu adalah suatu kotoran’. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita (jangan bersetubuh) diwaktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci (Mandi besar). Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu ditempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.”

Salah satu syarat darah haid adalah apabila darah tersebut keluar disaat seorang wanita yang telah berumur 9 tahun dalam hitungan tahun Islam (Qamariyah bukan tahun masehiyah), dengan toleransi waktu kurang dari 16 hari. Untuk lebih memahaminya perhatikan contoh berikut :

- Seorang gadis lahir pada tanggal 20 Rajab 1420 H, Kemudian pada tanggal 1 Rajab 1429 H dia melihat ada darah yang keluar dari kemaluannya, maka darah tersebut belum dapat dikatakan darah haidh karena gadis tersebut belum mencapai 9 tahun – 16 Hari.

- Namun apabila gadis tersebut melihat adanya darah yang keluar pada tanggal 10 Rajab 1429 H, meski belum genap berusia 9 tahun, darah tersebut tetap dihukumi sebagai darah haidh karena masuk dalam toleransi kurang dari 9 tahun kurang 16 hari.

I.1 MASA WAKTU
Masa waktu (lamanya) haidh dibagi menjadi 3 masa yaitu masa minimum, standard, dan maksimum.

- Masa Minimum : Haidh paling sedikit berlangsung selama 24 jam (dengan masa minimal keluar 3 jam).

- Masa Standard : Haidh pada umumnya berlangsung selama 6-8 hari.
- Masa Maksimum : Haidh dapat berlangsung selama maksimal 15 hari.

Hal ini berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Imam Syafi’i terhadap para wanita yang ada dimasanya. Oleh karenanya, berkaitan dengan masa waktu haidh ini, apabila ditemukan adanya darah yang keluar diluar dari ketiga bagian waktu tersebut, maka darah itu dihukumi sebagai darah istihadhah (akan kita bahas pada bagian selanjutnya).

.2 SIFAT DARAH HAIDH

Darah haidh memiliki beberapa sifat, berwarna merah pekat (agak kehitaman), merah, merah agak kuning, kuning, keruh (kuning pudar), kadang memiliki bau yang tidak sedap, dan kadang keluarnya kental. Sifat darah tersebut berkaitan erat dengan masa keluarnya darah haidh itu sendiri. Pada awalnya dia akan berwarna merah pekat, sampai pada akhirnya akan berwarna keruh (kuning pudar).

Terkait dengan pembagian sifat tersebut, apabila seorang wanita masih menemukan darah yang berwarna kuning ataupun bercak-bercak kuning, maka dia belum dapat dikatakan telah suci dari haidh. Hal ini berdasarkan pada sebuah hadits riwayat Imam Bukhari ra diriwayatkan bahwa ada seorang perempuan yang mengutus budaknya untuk datang ke tempat Sayyidah ‘Aisyah ra dengan membawa wadah berisi kapas yang masih terkotori dengan warna kuning, maka sayyidah ‘Aisyah ra berkata, jangan terburu-buru hingga kamu melihat warna putih. 

Hal ini berarti bahwa selesainya masa haidh seorang wanita adalah dengan tidak ditemukannya lagi cairan kuning atau keruh yang keluar dari kemaluannya. Apabila sudah demikian, maka dia dapat segera melakukan mandi janabah, dan melakukan kewajiban muslimah lainnya.

Apabila ada seorang wanita dalam keadaan hamil, tetapi mengeluarkan darah rutin sebagaimana yang biasa dialaminya pada masa sebelum kehamilannya, dan darah tersebut memenuhi syarat-syarat darah haidh, maka darah tersebut tetap dihukumi sebagai darah haidh (namun disarankan bagi wanita tersebut untuk berkonsultasi dengan dokter, karena dikhawatirkan terjadi sesuatu dengan janin yang dikandungnya).

Darah haidh dapat keluar secara lancar atau secara terputus-putus. Darah yang keluar secara terputus-putus dapat dihukumi sebagai darah haidh, dengan 2 syarat :

1) Jumlah keseluruhannya tidak kurang dari 1 hari (24 jam) dengan batas minimal darah keluar total 3 jam. Jika ternyata jumlah keseluruhannya tidak mencapai 3 jam dalam 1 hari, maka semua darah tersebut dihukumi darah istihadhah.

2) Tidak melebihi 15 hari. Jika darah kedua datang setelah 15 hari maka tidak lagi disebut haidh, karena waktu maksimum haidh adalah 15 hari.

Untuk lebih jelasnya mari kita perhatikan contoh berikut ini :

1. Seorang wanita mengeluarkan darah 3 hari, kemudian bersih (ditandai dengan tidak lagi keluar cairan yang keruh dari kemaluannya) sampai dihari kesepuluh, kemudian keluar darah lagi. Darah yang terakhir keluar masih dihukumi sebagai darah haidh sampai dengan batas maksimal 15 hari.

2. Seorang wanita mengeluarkan darah selama 7 hari, kemudian bersih 8 hari, kemudian keluar darah lagi di hari ke 16 selama 3 hari. Darah yang keluar dihari ke 16 tersebut tidak dapat dihukumi sebagai darah haidh, namun sebagai darah istihadhah karena telah melewati masa maksimal haidh.

Sebagai catatan bahwa seorang wanita yang dalam 6 hari melihat darah setiap harinya 3 jam saja, maka seluruh darah yang keluar dihukumi sebagai darah istihadhah.

Sebagai mana telah disebutkan diatas, bersihnya kemaluan dari cairan kuning atau keruh merupakan tanda sucinya wanita dari haidh. 

Cara mengetahuinya adalah dengan cara memasukkan kapas kedalam kemaluannya, dan keluarkan kemudian lihatlah apakah kapas tersebut bersih (tidak terkotori) dari bercak-bercak kuning. Tentunya tetap diperhatikan bahwa syarat awalnya apabila telah mencapai waktu minimun haidh, yaitu 24 jam (sehari semalam).

Sehingga, apabila telah melewati batas waktu minimal haidh yaitu 1 hari, dan dia melihat bersihnya kemaluan dari bercak kuning, dengan demikian maka wajiblah baginya melakukan mandi besar, melakukan shalat, puasa (dibulan puasa), dan halal bagi suaminya untuk menyetubuhinya.

Namun apabila dalam waktu dekat ditemukan kembali darah yang keluar, berarti pada hakikatnya haidnya masih berlangsung. Puasa (dibulan puasa) yang telah dilakukannya wajib di-qadha dan tidak ada dosa atas shalat yang telah dilakukannya, bacaan Al Qur’annya, atau dengan persetubuhan yang telah dilakukannya, karena hal tersebut dilakukannya atas dasar hukum lahiriah bahwa sang istri telah suci.

 3. SUCI ANTARA 2 HAIDH

Masa suci diantara 2 masa haidh adalah 14 hari (apabila bilangan bulannya 29 hari) atau 15 hari (jika bilangan bulannya 30 hari). 
Hal ini merupakan hitungan dasar, apabila waktu maksimal haidh adalah 15 hari, maka masa sucinya adalah 14 / 15 hari, karena pada keadaan normal, seorang wanita biasanya akan terus mendapatkan haidh lalu suci sepanjang waktu sampai masa menopouse. 

Masa suci itu pada umumnya adalah sisa bulan dari masa haidh dan tidak ada waktu maksimum untuk suci karena seorang perempuan terkadang tidak keluar haidh sama sekali atau keluar haidh hanya sekali seumur hidupnya.

Sebagaimana darah yang keluar setelah suci tetapi masih didalam masa haidh, tetap dihukumi sebagai darah haidh, maka darah yang keluar sebelum selesainya masa suci tidak dapat disebut darah haidh namun disebut sebagai darah istihadhah. Dan wanita tersebut dinyatakan sebagai perempuan yang memiliki sisa masa suci. 

Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh berikut :

- Wanita yang keluar haidh 7 hari, kemudian suci selama 12 hari, setelah itu keluar darah kembali selama 7 hari. Darah yang terakhir tersebut tidak dihukumi sebagai darah haidh karena dia sedang berada didalam masa sucinya. Darah tersebut akan tetap dihukumi sebagai darah istihadhah sampai dengan genap 14 atau 15 hari masa suci.


ll.DARAH ISTIHADHOH

Darah Istihadhoh adalah darah yang keluar dari rahim terluar wanita, selain dari darah haidh maupun darah nifas. Darah ini keluar dari bagian terluar wanita, dan disebut juga sebagai darah penyakit.

Dalil tentang darah istihadhoh ini berdasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Fathimah binti Abi Hubaisy yang menanyakan kepada Rasulullah SAW tentang keadaannya yang tidak kunjung suci, apakah dia meninggalkan shalat.

Kemudian Rasulullah SAW menjawab tentang perbedaan warna darah haidh dan selainnya, apabila ditemukan darah tersebut bukan berwarna pekat selayaknya darah haidh, maka tetap diwajibkan baginya (dan wanita seluruhnya) berwudhu kemudian shalat.

shallallahu ‘ala Sayyidina Muhammadin wa ‘ala alihi wasalam

✽SHALAT WANITA YANG KEPUTIHAN✽

SHALAT WANITA YANG KEPUTIHAN

Bismillahirrahmaanirrahiim....

Bnyak wanita yang mengalami keputihan dalam jangka waktu yang panjang,sehingga para wanita pada umumnya merasa khawatir dengan "keputihan "tersebut dan ada juga yang kurang faham atau ragu,apakah ia termasuk darah haidh ?

dan apakah cairan keputihan hukumnya najis?

lalu bagaimana cara mengatasi sholatnya bagi wanita yang mengalami keputihan seperti ini...?

Perlu kita ketahui,bahwa Keputihan Tidak termasuk haid.

Cairan putih sebab keputihan hukumnya najis, karena keluar dari dalam ms V .

Untuk masalah shalat bagi wanita yang menderita keputihan, apabila cairan itu keluar terus menerus seperti orang beser, maka berlaku hukum seperti orang yang beser.

Cara yang harus dilakukan adalah dengan mensucikan kemaluan/ms.V setelah itu disumbat dengan pembalut atau kapas.

Barulah kemudian berwudlu dengan menyegerakan shalat.

Penderita keputihan dan orang yang beser tidak boleh menunda-nunda shalat setelah berwudlu, kecuali untuk kemaslahatan shalat seperti menjawab adzan atau menunggu jamaah.

Dasar Pengambilan=

Hasyiyah Jamal II hal. 149
( قَوْلُهُ وَرُطُوبَةٍ فَرْجٍ ) هِيَ مَاءٌ أَبْيَضُ مُتَرَدِّدٌ بَيْنَ الْمَذْيِ وَالْعَرَقِ وَمَحِلُّ ذَلِكَ إذَا خَرَجَتْ مِنْ مَحَلٍّ يَجِبُ غَسْلُهُ ، فَإِنْ خَرَجَتْ مِنْ مَحِلٍّ لَا يَجِبُ غَسْلُهُ فَهِيَ نَجِسَةٌ ؛ لِأَنَّهَا رُطُوبَةٌ جَوْفِيَّةٌ وَهِيَ إذَا خَرَجَتْ إلَى الظَّاهِرِ يُحْكَمُ بِنَجَاسَتِهَا وَإِذَا لَاقَاهَا شَيْءٌ مِنْ الطَّاهِرِ تَنَجَّسَ

(pernyataan cairan dalam kemaluan) yaitu cairan putih yang ambigu antara madzi dan keringat.
Titik tekan masalah ini, yaitu ketika cairan itu keluar dari tempatnya yang wajib membersihkannya.

Apabila cairan itu keluar dari tempat yang tidak wajib dibersihkan maka dihukumi najis, karena hal itu merupakan cairan dari dalam.

Apabila cairan itu keluar dari anggota dzahir, maka dihukumi najis. Apabila sesuatu yang suci bersentuhan dengannya maka menjadi mutanajis.

Minhaj al Tullab I hal 26

والاستحاضة كسلس فلا تمنع ما يمنعه الحيض فيجب أن تغسل مستحاضة فرجها فتحشوه فتعصبه بشرطهما فتطهر لكل فرض وقته وتبادر به ولا يضر تأخيرها لمصلحة كستر وانتظار جماعة

Istihadzah (darah penyakit) itu seperti orang yang beser, maka orang yang istihadzah tidak tercegah melakukan sesuatu yang tidak boleh dilakukan oleh orang yang haid.

Maka wajib bagi seorang yang istihadzah untuk mensucikan farjinya, menyumpal dan membalutnya sesuai dengan syarat-syaratnya, kemudian berwudlu.

Hal ini wajib dilakukan setiap akan menjalankan shalat fardlu dan bersegera menjalankannya. Mengakhirkan shalat (setelah wudlu) diperboleh bila untuk kemaslahatan seperti menutup aurat atau menunggu jamaah.

Minggu, 17 Juni 2012

✽ZIARAH BAGI WANITA✽

Bismillahirrahmaanirrahiim...


Golongan madzhab Wahabi/Salafi (pengikut paham syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab) melarang wanita ziarah kubur dengan berpegang kepada kalimat hadits yang diriwayatkan di kitab-kitab as-Sunan -kecuali Bukhori dan Muslim- yaitu: “Allah melaknat perempuan-perempuan yang menziarahi kubur” ( kitab Mushannaf Abdur Razzaq jilid 3 hal. 569). 



Sebenarnya hadits ini telah dihapus (mansukh) dengan hadits yang menyebutkan bahwa ‘Aisyah ra. menziarahi kuburan saudaranya, yang diungkapkan oleh adz-Dzahabi dalam kitab Sunan al-Kubra, Abdurrazaq dalam kitab Mushannaf, al-Hakim an-Naisaburi dalam kitab Mustadrak Alas Shahihain dan hadits riwayat Imam Muslim (lihat catatan pada halaman selanjutnya ). 


Begitu juga jika kita teliti lebih detail lagi, ternyata sanad hadits yang menyebutkan “Allah melaknat perempuan-perempuan yang menziarahi kubur” itu melalui tiga jalur utama: 1. Hasan bin Tsabit. 2. Ibnu Abbas dan 3. Abu Hurairah [ra]. 

Ibnu Majah dalam kitab Sunan Ibnu Majah jilid 1 halaman 502 menukil hadits tersebut melalui tiga jalur diatas.
Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab Musnad Ahmad bin Hanbal jilid 3 menukil hadits tersebut melalui dua jalur yaitu Hasan bin Tsabit (Lihat jilid 3 halaman 442) dan Abu Hurairah (Lihat jilid 3 halaman 337/356). 

At-Turmudzi dalam kitab al-Jami’ as-Shahih jilid 2 halaman 370 hanya menukil dari satu jalur saja yaitu Abu Hurairah. Abu Dawud dalam kitab Sunan Abu Dawud jilid 3 halaman 317 hanya menukil melalui satu jalur saja yaitu Ibnu Abbas. 

Sedangkan Imam Bukhari dan Imam Muslim tidak meriwayatkan hadits itu sama sekali. Begitu juga –jika dilihat dari sisi jalur sanad haditsnya– tidak ada kesepakatan di antara para penulis kitab as-Sunan dalam menukil hadits tersebut. 

Ibnu Majah, Imam Ahmad bin Hanbal dan Turmudzi sepakat meriwayatkan melalui jalur Abu Hurairah. Sedangkan dari jalur Hasan bin Tsabit hanya dinukil oleh Ibnu Majah dan Imam Ahmad saja, sedangkan jalur Ibnu Abbas dinukil oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah.

Dari jalur pertama yang berakhir pada Hasan bin Tsabit –yang dinukil oleh Ibnu Majah dan Imam Ahmad– terdapat pribadi yang bernama Abdullah bin Utsman bin Khatsim. Semua hadits yang diriwayatkan olehnya dihukumi tidak kuat/lemah. 

Hal itu sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Daruqi dari Ibnu Mu’in. Ibnu Abi Hatim sewaktu berbicara tentang Abdullah bin Utsman tadi menyatakan bahwa hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Utsman tidak dapat dijadikan dalil. An-Nasa’i dalam menjelaskan kepribadian Ibnu Usman tadi mengatakan: “Ia sangat mudah meriwayatkan (menganggap remeh periwayatan.-red) hadits” 
(Lihat kitab Mizan al-I’tidal jilid 2 halaman 459). 

Dan melalui jalur tersebut juga terdapat pribadi seperti Abdurrahman bin Bahman. Tidak ada yang meriwayatkan hadits darinya selain Ibnu Khatsim. Ibnu al-Madyani mengatakan: “Aku tidak mengenal pribadinya” (Lihat kitab Mizan al-I’tidal jilid 2 halaman 551).

Dari jalur kedua yang berakhir pada Ibnu Abbas ra. terdapat pribadi seperti Abu Shaleh yang aslinya bernama Badzan.
Abu Hatim berkata tentang dia: “Hadits-hadits dia tidak dapat dipakai sebagai dalil”. 

An-Nasa’i menyatakan: “Dia bukanlah orang yang dapat dipercaya”. Ibnu ‘Adi mengatakan: “Tak seorang pun dari para pendahulu yang tak kuketahui dimana mereka tidak menunjukkan kerelaannya (ridho) terhadap pribadinya (Badzan)” (Lihat kitab Tahdzib al-Kamal jilid 4 halaman 6).

Dari jalur ketiga yang berakhir pada Abu Hurairah ra terdapat pribadi seperti Umar bin Abi Salmah yang an-Nasa’i mengatakan tentang dirinya: “Dia tidak kuat (dalam periwayatan .red)”. Ibnu Khuzaimah mengatakan: “Haditsnya tidak dapat dijadikan dalil”.  Ibnu Mu’in mengatakan: “Dia orang yang lemah”. Sedangkan Abu Hatim menyatakan: “Haditsnya tidak dapat dijadikan dalil” (Lihat kitab Siar A’lam an-Nubala’ jilid 6 halaman 133).

Mungkin karena sanad haditsnya tidak sehat inilah akhirnya Imam Bukhari dan Imam Muslim tidak meriwayatkan hadits tadi. Bukankah dua karya besar itu memiliki gelar shahih sehingga terhindar dari hadits-hadits yang tidak jelas sanadnya? Melihat hal-hal tadi maka hadits pelarangan ziarah kubur buat perempuan di atas tadi tidak dapat dijadikan dalil pengharaman.

– Salah seorang ulama madzhab Wahabi/Salafi yang bernama syeikh Nashiruddin al-Albani pernah menyatakan tentang hadits pelaknatan penziarah wanita tadi dengan ungkapan berikut ini:

“Di antara sekian banyak hadits tidak kutemui hadits-hadits yang menguatkan hadits tadi. Sebagaimana tidak kutemui hadits-hadits lain yang dapat memberi kesaksian atas hal tersebut. Hadits ini adalah penggalan dari hadits: “Laknat Allah atas perempuan-perempuan yang menziarahi kubur dan orang-orang yang menjadikannya (kuburan) sebagai masjid dan tempat yang terang benderang” yang disifati sebagai hadits lemah (Dha’if). 

Walau pun sebagian saudara-saudara dari pengikut Salaf (baca: Wahabi) suka menggunakan hadits ini sebagai dalil. 
Namun saya nasehatkan kepada mereka agar tidak menyandarkan hadits tersebut kepada Nabi, karena hadits itu adalah hadits yang lemah (Lihat kitab Silsilah al-Ahadits adh-Dho’ifah wa Atsaruha as-Salbi fil Ummah halaman 260).

Tetapi sayangnya sampai sekarang bisa kita lihat dan alami kaum wanita –pelaksana haji atau umrah di Makkah dan Madinah– , masih tetap dilarang oleh ulama Madzhab Wahabi untuk berziarah di kuburan Baqi’ (Madinah) dan di Ma’la (di Makkah), untuk menziarahi makam para keluarga dan sahabat Rasulallah saw.. Mereka menvonis saudara-saudara mereka sesama muslim dengan sebutan penghamba Kubur (Quburiyuun), bahkan mereka berkepala keras menyatakan bahwa ziarah kubur bagi perempuan adalah haram menurut ajaran Rasulallah saw dan para Salaf Sholeh ?

Menurut ahli fiqh, adanya hadits yang melarang wanita ziarah kubur bila ini shohih, karena umumnya sifat wanita itu ialah lemah, sedikitnya kesabaran sehingga mengakibat- kan jeritan tangis yang meraung-raung (An-Niyahah), menampar pipinya sendiri dan perbuatan-perbuatan jahiliyah dikuburan itu, yang mana ini semua tidak dibenarkan oleh agama Islam. 

Begitu juga sifat wanita senang berhias atau mempersolek dirinya sedemikian rupa atau tidak mengenakan hijab sehingga dikuatirkan –dengan campur baurnya antara lelaki dan wanita– mereka ini tidak bisa menjaga dirinya dikuburan itu sehingga menggairahkan para ziarah kaum lelaki.
 
Hal tersebut dipertegas dalam kitab I’anatut Thalibin jilid 2/142. Begitupun juga Al-Hafidz Ibnu Arabi (435-543H), pensyarah hadits Turmudzi dalam mengomentari masalah ini berkata:  "Yang benar adalah bahwa Nabi saw. membolehkan ziarah kubur untuk laki-laki dan wanita. Jika ada sebagian orang menganggapnya makruh bagi kaum wanita, maka hal itu dikarenakan lemahnya kemampuan wanita itu untuk bersikap tabah dan sabar sewaktu berada diatas pekuburan atau dikarenakan penampilannya yang tidak mengenakan hijab (menutup aurat nya) dengan sempurna".
Kalimat semacam diatas juga dinyatakan dalam kitab at-Taajul Jami’ lil Ushul jilid 2 halaman 381, atau kitab Mirqotul Mafatih karya Mula Ali Qori jilid 4 halaman 248.

Rasulallah saw. membolehkan dan bahkan menekankan kepada umatnya untuk menziarahi kubur, hal itu berarti mencakup kaum perempuan juga. Walau dalam hadits tadi Rasulallah saw. menggunakan kata ganti (Dhamir) lelaki, namun hal itu tidak lain dikarenakan hukum kebanyakan (Taghlib) pelaku ziarah tersebut adalah dari kaum lelaki. 

Ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Mula Ali Qori dalam kitab Mirqotul Mafatih jilid 4 halaman 248 dan at-Turmudzi dalam kitab al-Jami’ as-Shahih jilid 3 halaman 372 hadits ke-1056. Kalaupun kita harus berbicara tentang jumlah obyek yang diajak bicara (mukhatab), terbukti dalam tata bahasa Arab walau ada seribu perempuan dan lelaki hanya segelintir saja jumlahnya, maka kata ganti yang dipakai untuk berbicara kepada semua –yang sesuai dengan tata bahasa yang baik dan benar– yang hadir tadi adalah menggunakan kata ganti lelaki.  

Jadi kesimpulannya ialah ziarah kubur itu tidak disunnahkan untuk wanita bila para wanita diwaktu berziarah melakukan hal-hal yang tidak dibenarkan oleh agama atau dimakruhkan seperti yang tersebut diatas, tapi kalau semuanya ini bisa dijaga dengan baik, maka tidak ada halangan bagi wanita tersebut untuk berziarah kubur seperti halnya kaum lelaki. Dengan demikian bukan ziarah kuburnya yang dilarang, tetapi kelakuan wanita yang berziarah itulah yang harus diperhatikan.


Mari kita lanjutkan dalil-dalil mengenai ziarah kubur bagi wanita:  


– Imam Malik, sebagian golongan Hanafi, berita dari Imam Ahmad dan kebanyakan ulama memberi keringanan bagi wanita untuk ziarah kubur. Mereka berdasarkan sabda Nabi saw. terhadap Aisyah ra. yang diriyatkan oleh Imam Muslim. Beliau saw. didatangi malaikat Jibril as. dan disuruh menyampaikan kepada Aisyah ra.sebagai berikut : 



إنَّ رَبَّك بِأمْرِك أنْ تَـأتِيَ أهْلَ البَقِيْع وَتَسْتَغْفِرِلَهُمْ                   

Artinya: “Sesungguhnya Tuhanmu menyuruhmu untuk menziarahi para penghuni perkuburan Baqi’ untuk engkau mintakan ampun bagi mereka”.

Kata Aisyah ra; 'Wahai Rasulallah, Apa yang harus aku ucapkan bila berziarah pada mereka'? Sabda beliau saw. :

قُوْلِيْ: السَّـلاَمُ عَلََى أهْـلِ الدِّيَـارِ مِنَ المُؤْمِنـِيْنَ وَالمُسْلِمِيْنَ وَيَرْحَمُ الله المُسْتَقْدِمِيْنَ مِنَّا وَالمُسْتَأخِرِيْنَ, وَإنَّا إنْشَاءَ الله بِكُمْ لآحِقُوْنَ




Artinya:Ucapkanlah; salam atasmu wahai penduduk kampung, dari golongan mukminin dan muslimin. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya pada kita bersama, baik yang telah terdahulu maupun yang terbelakang, dan insya Allah kami akan menyusul kemudian’ “. 


Untuk lebih jelasnya hadits yang dimaksud diatas adalah bahwasanya Nabi saw. bersabda pada Aisyah ra.: 
“Jibril telah datang padaku seraya berkata: ‘Sesungguhnya Tuhanmu menyuruhmu untuk menziarahi para penghuni perkuburan Baqi’ untuk engkau mintakan ampun bagi mereka.’ Kata Aisyah; ‘Wahai Rasulallah, apa yang harus aku ucapkan bagi mereka? Sabda beliau saw: ‘Ucapkanlah: Semoga salam sejahtera senantiasa tercurah bagi para penduduk perkuburan ini dari orang-orang beriman dan orang-orang Islam, semoga Allah merahmati orang-orang kami yang terdahulu maupun yang terkemudian, insya Allah kamipun akan menyusul kalian’ “. 
 (HR.Muslim) 

Dalam riwayat lain disebutkan: ‘Semoga salam sejahtera senantiasa tercurahkan bagi para penghuni perkuburan dari orang-orang beriman dan Islam, dan kamipun insya Allah akan menyusul kalian, kami berharap semoga Allah berkenan memberi keselamatan bagi kami dan kalian’.                                    
           
 Juga riwayat dari Abdullah bin Abi Mulaikah, bahwa pada suatu hari Aisyah datang dari pekuburan, maka dia bertanya: 
“Ya Ummul Mukminin, darimana anda? Ujarnya: Dari makam, saudaraku Abdurrahman. Lalu saya tanyakan pula: Bukankah Nabi saw. telah melarang ziarah kubur? Benar, ujarnya, mula-mula Nabi melarang ziarah kubur, kemudian menyuruh menziarahinya”. 

( Adz-Dzahabi dalam kitab Sunan al-Kubra jilid 4 halaman 131, Abdur Razaq dalam kitab Mushannaf Abdurazaq jilid 3 halaman 572/574 dan dalam kitab Mustadrak alas Shahihain karya al-Hakim an-Naisaburi jilid 1 halaman 532 hadits ke-1392).

Adz-Dzahabi telah menyatakan kesahihannya sebagaimana yang telah tercantum dalam catatan kaki yang ia tulis dalam kitab Mustadrak karya al-Hakim an-Naisaburi tersebut. (Lihat: Mustadrak al-Hakim an-Naisaburi Jil:1 Hal: 374)  

 Dalam kitab-kitab itu juga diriwayatkan bahwa Siti Fathimah Az-Zahrah ra, puteri tercinta Rasulullah saw. hampir setiap minggu dua atau tiga kali menziarahi para syuhada perang Uhud, khususnya paman beliau Sayyidina Hamzah ra.

 Dalam kitab Sunan at-Tirmidzi disebutkan: “Sebagian ahli ilmu mengatakan bahwa hadits itu (larangan ziarah kubur bagi perempuan) diucapkan sebelum Nabi saw membolehkan untuk melakukan ziarah kubur. Setelah Rasulullah saw membolehkannya, laki-laki dan perempuan tercakup dalam kebolehan itu”. (Sunan At-TIrmidzi: 976)

Aisyah ra. melakukan ziarah kubur, berarti apa yang dilakukan Aisyah adalah sebaik-baik dalil dalam mengungkap hakekat hukum penziarah kubur dari kalangan perempuan. 
Hal itu dikarenakan selain Aisyah sebagai istri Rasulallah saw. yang bergelar ummul mukminin (ibu kaum mukmin) sekaligus sebagai Salaf Sholeh. 

Karena Salaf Sholeh tidak hanya dikhususkan buat sahabat dari kaum lelaki saja, namun mencakup kaum perempuan juga (shahabiyah).
           
 Hadits dari Anas bin Malik berkata:  
                                                                                        
          عَنْ أَنَسٍ إبْنِ مَالِكٍ (ر) مَارَ النَّبِيِّ (ص) بِأَمْرَأَةٍ تَبْكِي   عِنْدَ قَبْرِ   فَقَالَ: إِتَّقِي اللهَ واصْبِرِي , فَقَالَتْ: إلَيْكَ عَنِّي فَإِنَّكَ لَمْ تُصَبْ  بِمُصِيبَتِي وَلَمْ                                                  
تَعْرِفْـهُ, فَقِيْلَ لَهَا إِنَّهُ النَّبِيِّ (ص) فَاتَتْ بَابَـهُ فَلَمْ تَجِدْ عِنْدَهُ بَوَّابِـينَ فَقَالَتْ لَمْ أعْرِفُكَ, فَقَالَ: إِنَّمَا الصَّبْرُ     عِنْدَ صَدَمَةِ الأُولَى

                                     .
Artinya: “Pada suatu hari Rasulallah saw. berjalan melalui seorang wanita yang sedang menangis diatas kuburan. Maka Nabi saw. bersabda: ‘Takut lah kepada Allah dan sabarlah’.  Dijawab oleh wanita itu:  ‘Tinggalkanlah aku dengan musibah yang sedang menimpaku dan tidak menimpamu!’ Wanita itu tidak tahu kepada siapakah dia berbicara. Ketika dia diberitahu, bahwa orang yang berkata padanya itu adalah Nabi saw., maka ia segera datang ke rumah Nabi saw. yang kebetulan pada waktu itu tidak dijaga oleh seorang pun. 

Kata wanita itu: ‘Sesungguhnya saya tadi tidak mengetahui bahwa yang berbicara adalah engkau ya Rasulallah. Sabda beliau saw.: “Sesungguh nya kesabaran itu hanyalah pada pukulan yang pertama dari datangnya musibah’.  (HR Bukhori dan Muslim). Al-Bukhari memberi terjemah (judul bab) untuk hadits ini dengan judul “Bab tentang ziarah kubur,” menunjukkan bahwa beliau tidak membedakan antara laki-laki dan wanita dalam berziarah kubur. 
( Shohih Al-Bukhari 3/110-116). 

Lihat hadits terakhir diatas ini, Rasulallah saw melihat seorang wanita dipekuburan dan tidak melarangnya untuk berziarah, hanya di anjurkan agar sabar menerima atas kewafatan anaknya (yang diziarahi tersebut).

– Al-Imam Al-Qurthubi berkata : “Laknat yang disebutkan didalam hadits adalah bagi wanita-wanita yang memperbanyak ziarah karena bentuk lafadhnya menunjukkan mubalaghah (berlebih-lebihan)”. Dan sebabnya mungkin karena hal itu akan membawa wanita kepada penyelewengan hak suami, berhias diri belebihan dan akan memunculkan teriakan, raungan-raungan dan semisalnya.Jika semua hal tersebut tidak terjadi, maka tidak ada yang bisa mencegah untuk memberikan izin kepada para wanita untuk ziarah kubur, sebab mengingat mati diperlukan bagi laki-laki maupun wanita”. 
(Lihat: Al Jami’ li Ahkamul Qur`an)
 
 Muhibbuddin at-Thabari pun dalam kitabnya yang berjudul ar-Riyadh an-Nadhirah jilid 2 halaman 330 menyebutkan bahwa: “ Suatu saat, ketika Umar bin Khatab (Khalifah kedua ) ra. bersama beberapa sahabatnya pergi untuk melaksanakan ibadah haji ditengah jalan ia berjumpa dengan seorang tua yang meminta tolong kepadanya. Sepulang dari haji kembali ia melewati tempat dimana orang tua itu tinggal dan menanyakan keadaan orang tua tadi. Penduduk daerah itu mengatakan: ‘Ia telah meninggal dunia’. Perawi berkata: Kulihat Umar bergegas menuju kuburan orang tua itu dan di sana ia melakukan shalat. Kemudian dipeluknya kuburan itu sambil menangis”.

Nah, insya Allah jelas bagi kita bahwa ziarah kubur itu sunnah Rasulallah saw. dan berlaku baik bagi lelaki maupun wanita. Sebab hikmah ziarah kubur adalah untuk mendapat pelajaran dan ingat akhirat serta mendoakan ahli kubur agar mendapat ampunan dari Allah swt. Ziarah kubur yang dilarang adalah menyembah dan meminta-minta kepada penghuni kubur. Adapun hadits yang menyatakan larangan ziarah kubur bagi wanita itu (mengenai hadits larangan ini silahkan rujuk uraian diatas) telah dicabut/dihapus dengan dalil-dalil berziarah baik laki-laki maupun perempuan adalah sunnah.

Yang lebih heran lagi kami pernah mendengar dari saudara muslim bahwa ada orang yang pergi ke tanah suci untuk menunaikan Haji atau Umrah tapi tidak mau ziarah pada junjungan kita Rasulallah saw., karena hal ini dianggap bid’ah sesat. Mungkin saudara-saudara kita ini mendapat kesalahan informasi tentang ziarah kubur. Kalau kita membaca keterangan tadi, banyak hadits shohih Rasulallah saw. yang menganjurkan kaum muslimin untuk berziarah, berdo’a untuk si mayit baik pada waktu sholat jenazah maupun pada waktu berziarah tersebut, dengan tujuan agar kita lebih mengingat pada Allah swt., akhirat serta kita saling doa mendoa antara kaum muslimin baik yang masih hidup maupun yang telah wafat.
Kalau kita disunnahkan ziarah kubur pada kaum muslimin, bagaimana kita bisa melupakan ziarah kubur makhluk Ilahi yang paling mulya dan taqwa yakni Rasulallah saw. Tanpa beliau kita tidak mengetahui syariat-syariat Islam,  juga dengan berdiri dimuka (makam) beliau saw. kita akan lebih konsentrasi untuk ingat pada Allah dan Rasul-Nya !.

Sabtu, 16 Juni 2012

✽MENYEMIR RAMBUT✽

Bismillahirrahmaanirrahim..

 banyak dari kalangan ummat islam yang mempertanyaak hal "menyemir rambut"
Adakah menyemir rambut dengan warna hitam ianya diperbolehkan dalam islam?
dan kalau tidak boleh apakah alasannya?

Mengapa pula hukum antara menyemir rambut dengan warna hitam dan warna lain (exp: merah) itu dibedakan...?


Sehubungan dengan masalah ini, ada satu riwayat yang menerangkan bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak memperkenankan menyemir rambut dan merombaknya, dengan suatu anggapan bahwa berhias dan mempercantik diri itu dapat menghilangkan arti beribadah dan beragama, seperti yang dikerjakan oleh para rahib. 

Namun Rasulullah s.a.w. melarang taqlid pada suatu kaum dan mengikuti jejak mereka, agar selamanya kepribadian umat Islam itu berbeda, lahir dan batin. Untuk itulah maka dalam hadisnya yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah s.a.w. bersabda:
“Sesungguhnya orang-orang Yahudi tidak mau menyemir rambut, karena itu berbedalah kamu dengan mereka.” (Riwayat Bukhari)

Menyemir rambut dengan semir warna hitam.

Masalah menyemir rambaut dengan memakai semir warna hitam hukumnya terbagi tiga berdasarkan keadaan dan tujuan yang berbeda, yaitu :

a.    Menyemir rambut dengan warna hitam ketika dalam peperangan dengan kaum kafir, maka hukumnya menurut kesepakatan ulama adalah boleh  sebagaimana di sebutkan oleh para ulama, di antaranya :

1.    Imam Ibnu Hajar dalam kitab Fathulbaari mengatakan :
" ويُسْتثنى من ذلك ـ أي : النهي عن الصبغ بالسواد ـ المجاهد ، اتفاقاً "

2.    Imam Al-qastalani dalam Irsyadussaari :
(وعِلَّته : ارهاب العدو )

3.    Imam ibnu Allan dalam kitab dalilulfaalihin

b.    Menyemir rambut dengan warna hitam dengan tujuan mengelabui agar diduga masih muda dalam proses lamaran misalnya atau jual beli hamba sahaya maka hukumnya menurut kesepakatan ulama adalah haram  sebagaimana di sebutkan oleh para ulama diantaranya : Al Mubarokfury dalam kitab Tuhfatulahwadzy :
"وهو - أي : الخضب بالسواد لغرض التلبيس والخداع - حرام بالاتفاق"

c.    Menyemir rambut dengan warna hitam bukan dalam keadaan perang dan bukan dengan tujuan mengelabui orang lain, maka dalam hal ini para ulama berbeda pendapat :

1.    Makruh, menurut  Madzhab Maliki dan Hambali dan qaul dalam madzhab Syafii dan Hanafi.
-    Imam Al Kasynawi (maliki) dalam kitab Ashalulmadarik mengatakan :
"ويكره صبغ الشعر بالسواد"
-    Imam Arrahibani (hambali) dalam kitab Matholib Ulinnuha mengatakan :
وكُرِه تغيير الشيب بسواد في غير حرب ، وحَرُمَ للتدليس"

-    Imam Ibnu Aabidin (Hanafi) dalam Hasyiahnya mengatakan ;
"وفصل في المحيط بين الخضاب بالسواد قال عامة المشايخ إنه مكروه "
-    Imam Annawawi (Syafii) dalam Almajmu' mengatakan :
"اتفقوا - أي : الشافعية - على ذم خضاب الرأس واللحية بالسواد ، ثم قال الغزالي في : ((الإحياء)) والبغوي في : ((التهذيب)) وآخرون من الأصحاب : هو مكروه ، وظاهر عباراتـهم أنه كراهة تنـزيه "

2.    Haram, menurut qaul dalam madzhab syafii yang dikuatkan oleh Imam Annawawi :
" اتفقوا - أي : الشافعية - على ذم خضاب الرأس واللحية بالسواد . ثم قال الغزالي في: ((الإحياء)) والبغوي في : ((التهذيب)) وآخرون من الأصحاب : هو مكروه وظاهر عباراتـهم أنه كراهة تنـزيه . والصحيح بل الصواب : أنه حرام. وممن صَرّح بتحريمه صاحب ((الحاوي)) في باب الصلاة بالنجاسة"

3.    Jawaz (boleh), menurut qaul dalam madzhab hanafi, sebagaimana dikatakn oleh Ibnu Aabidin dalam Hasyiahnya :
" وبعضهم جوَّزه بلا كراهة - يعني : الخضاب بالسواد - رُوي عن أبي يوسف أنه قال : (كما يعجبني أن تتزين لي ، يعجبها أن أتزيَّن لها)"

Adapaun tentang pertanyaan yang terakhir, kenapa dibedakan anatara warna hitam dan selain hitam baik merah ataupun kuning?
Jawabannya karena ada larangan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya dari Jabir bin Abdillah :
قال : أُتي بأبي قحافة يوم فتح مكة ، ورأسه ولحيته كالثغامة بياضاً. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم :  (( غَيِّروا هذا بشيء واجتنبوا السواد ))

Dan warna hitam merupakan warna asli rambut bagi kebanyakan orang muda, sehingga warna hitam bisa digunakan untuk mengelabui orang lain agar si pemakai semir warna hitam dikira masih muda berbeda dengan warna selain hitam, karena jika seseorang menyemir rambutnya dengan warna merah misalkan, maka orang yang melihatnya sudah pasti tahu bahwa itu adalah warna semir bukan warna rambut  asli.

Selasa, 12 Juni 2012

✽MENGUSAP WAJAH SETELAH BERDOA✽

Bismillahirrahmaanirrahiim...


Salah satu kebiasaan yang sering kita lihat, setiap selesai berdoa ,baik setelah sholat maupun diluar waktu sholat, umat Islam mengusapkan tangannya kewajahnya. Hal mengusap wajah setelah berdoa ini berdasarkan beberapa hadits, bahwa Rasulullah saw setelah berdoa mengusapkan kedua tangan ke wajahnya. 

Umpama hadits dari Saib bin Yazid dari ayahnya, “Apabila Rasulullah saw  berdoa, beliau selalu mengangkat kedua tangannya, lalu mengusap wajahnya dengan kedua tangannya”(HR Abu Dawud, no1275, 1492). 

Dan hadits-hadits lainnya yang serupa dan semakna, dari Umar bin Khattab, Ibnu Abbas dan lainnya, yang antara lain diriwayatkan oleh Abu Dawud, At Tirmidzi Ibnu ‘Asakir , Ibnu Majah, Ath Thabarani dan lain-lain.



Memang benar ada beberapa riwayat tentang masalah tersebut lemah, karena diantara rawinya terdapat seorang yang dipandang lemah oleh pakar hadits. Namun karena terdapat syawahid/para saksi atau penguatnya dan diriwayatkan dengan berbagai jalan, maka menurut ulama hadits dhoif ini menjadi hadits hasan lighairih (Hasan disebab kan adanya riwayat yang lain).  

Sebagaimana diterangkan dalam kitab Bulughul Maram min Adillatil Ahkam oleh al-Hafiz Shaikh Ibn Hajar al-Asqolani, berikut ini: “Diriwayatkan Umar ra yang katanya: Rasulullah saw menadah tangannya ketika berdoa, beliau tidak menurunkan tangan itu hingga menyapu dengan tangannya kewajah nya”. (HR at-Tirmidzi, sebagai syawahid hadits dari Ibn Abbas ra disisi Abu Daud dan lainnya, dengan banyaknya beredar hadits itu maka membuat hadits ini (naik derajat) Hasan).

Imam as-Son’ani ketika memberi komentar kata-kata Ibn Hajar didalam kitabnya Subulus Salam Syarh Bulughul Maram: “Dan padanya (hadits tersebut) menjadi dalil atas disyariatkan menyapu wajah dengan kedua tangan setelah selesai berdoa…”. 
     
Imam as-Son’ani berkata: “Ada ulama yang berkata bahwa hikmahnya adalah karena kedua tangan yang diangkat ketika berdoa itu tidak kosong dari rahmat Allah. Maka wajarlah kalau kedua tangan yang penuh dengan rahmat Allah itu disapukan terlebih dahulu kewajahnya sebelum diturunkan, karena wajah itu dianggap sebagai anggota tubuh manusia yang paling mulia dan paling terhormat”.

Hadits-hadits shohih ,berikut ini, mengenai mengusap wajah seusai berdo’a:
  “Rasulallah saw bila telah menuju pembaringannya nafatsa (meniup disertai butiran kecil airliur) pada kedua telapak tangannya dengan Qulhuwallahu ahad dan Mu’awwidzatain (QS Alfalaq dan Annaas), 

lalu mengusapkan kewajahnya dan anggota tubuhnya yang terjangkau dengan kedua tangan beliau saw. Berkata Aisyah ra, ketika beliau sakit maka beliau menyuruhku untuk melakukannya untuk beliau saw (Bukhari hadits no.5416). 

Sedangkan dalam kitab Bukhori hadits no.4729: bahwa Rasulallah saw ketika dipembaringannya, merapatkan kedua telapak tangannya lalu nafatsa (meniup dengan sedikit meludah) pada kedua telapak tangannya, lalu membaca surat Al Ikhlas, Alfalaq dan Annaas, lalu mengusapkan kewajahnya, dan seluruh tubuh yang mungkin dicapainya, beliau mengulanginya tiga kali.       

  Syekh Abu Bakar bin Muhammad Syatha dalam kitab I’anatut Thalibin juz I, hal 184-185 menyatakan: Imam Nawawi dalam kitabnya al-Adzkar (hal. 69), dan kami juga meriwayatkan hadits dalam kitab Ibnus Sunni dari sahabat Anas bahwa Rasulullah saw apabila selesai melaksanakan shalat, beliau mengusap wajahnya dengan tangan kanannya. Lalu berdoa: “Saya bersaksi tiada Tuhan kecuali Dia Dzat Yang maha Pengasih dan penyayang. Ya Allah Hilangkan dariku kebingungan dan kesusahan”.

  Juga didalam kitab al-Adzkar ini pada bab adab-adab ketika berdoa, disebutkan: “Dan telah berkata Abu Hamid al-Ghazali didalam ihya, adab/cara berdo’a itu ada sepuluh..... Yang ketiga: menghadap qiblat, dan mengangkat kedua belah tangan dan menyapu keduanya kewajah pada akhir do’a (setelah berdoa) …”.        

  Didalam kitab Fathul Muin (Al-Malibary): “Dan (disunahkan waktu berdoa itu) mengangkatkan kedua tangan yang bersih sampai sejajar dengan dua bahu, dan disunnahkan menyapu muka dengan kedua tangan itu seusai berdoa …”

  Didalam Hasyiah al-Baijuri juga disebutkan sunnahnya menyapu wajah setelah berdo’a diluar waktu sholat.        

Insya Allah jelas buat kita bahwa Nabi saw pernah mencontohkan mengusap tangan kewajahnya setelah berdoa, terutama saat akan tidur. Beliau saw sedang sakitpun menyuruh isterinya Aisyah ra untuk melakukannya. Ini semua merupakan sunnah dan sebagai salah satu etika berdoa. Begitu jug sebagai bukti bagi orang yang meniadakan dan membid’ahkan munkar mengusap wajah setelah berdoa. 

Begitupun juga tidak ada satu dalil pun dari Nabi saw yang mengharamkan mengusap wajah setelah berdoa! Janganlah kita mudah menvonnis bid’ah munkar (baca: haram), sesat, dan lain sebagainya, yang mengamalkan amalan-amalan sunnah atau mubah. Jangan lagi yang masih ada dalilnya, umpama saja tidak ada satu haditspun dari Nabi saw tentang mengusap wajah setelah berdoa diluar waktu sholat, itupun bukan berarti haram untuk di lakukan. 

Orang boleh melakukan amalan apapun setelah selesai sholat selama hal itu tidak berlawanan yang telah digariskan oleh syari’at Islam. Dan yang penting lagi orang tidak boleh mewajibkan/mensyariatkan amalan yang sunnah atau mubah, dan sebaliknya mensunnahkan suatu amalan padahal amalan ini wajib hukumnya. 

Wallahu’alam.

Kamis, 07 Juni 2012

✽SYARAT PERBAN SYAR'I✽

Bismillahirrahmaanirrahiim...

  1. Pada masa sekarang ini kebanyakan dokter mengobati luka-luka yang ada dalam anggota wudlu dengan plester (jabiroh) yang tidak boleh dibuka sebelum sembuh, sedang pemakaiannya pada waktu hadast (tidak suci)
Kalau menurut kitab Kifayatul Akhyar Juz 1 hal 38 syarat-syaratnya berat, yakni :
a. Harus dalam keadaan suci
b. Pemasangan harus menurut tertibnya anggota yang dibasuh ketika wudlu
c. Banyaknya tayamum berulangkali menurut jumlah jabiroh dalam anggota wudlu

Pertanyaan:
Apakah ada qoul ringan, misalnya:
· Pemasangan boleh pada saat hadats
· Boleh tayamum setelah usai wudlu
· Bertayamum hanya satu kali saja walaupun jabirohnya lebih dari satu

Jawab:
Ada pendapat yang ringan seperti yang tertera dalam kitab sbb:
  1. Al-Mizan, Juz I, Hlm. 135
وَمِنْ ذَلِكَ قَوْلُ اْلإِمَامِ الشَّافِعِىِّ مَنْ كَانَ بِعُضْوٍ مِنْ أَعْضَائِهِ جَرْحٌ اَوْكَسْرٌ اَوْ قُرُوْحٌ وَاَلْصَقَ عَلَيْهِ جَبِيْرَةً وَخَافَ مِنْ نَزْعِهَا التَّلَفَ اَنَّهُ يَمْسَحُ عَلَى الْجَبِيْرَةِ وَتَيَمَّمَ مَعَ قَوْلِ أَبِى حَنِيْفَةَ وَمَالِكٍ اَنَّهُ اِنْ كَانَ بَعْضُ جَسَدِهِ صَحِيْحًا وَبَعْضُهُ جَرِيْحًا وَلَكِنِ اْلأَكْثَرُ هُوَ الصَّحِيْحُ غَسْلُهُ وَسَقَطَ حُكْمُ الْجَرِيْحِ وَيُسْتَحَبُّ مَسْحُهُ بِالْمَاءِ. وَاِنْ كَانَ الصَّحِيْحُ هُوَ َاْلأَقَلَّ تَيَمَّمَ وَسَقَطَ غَسْلُ اْلعُضْوِ الصَّحِيْحِ وَقَالَ أَحْمَدُ يُغْسَلُ الصَّحِيْحُ وَتَيَمَّمَ عَنِ الْجَرِيْحِ مِنْ غَيْرِ مَسْحٍ لِلْجَبِيْرَةِ. وَوَجْهُ اْلأَوَّلِ اْلأَخْذُ بِاْلإِحْتِيَاطِ بِزِيَادَةِ وُجُوْبِ مَسْحِ الْجَبِيْرَةِ لِمَا تَأْخُذُهُ مِنَ الصَّحِيْحِ غَالِبًا لِلاِسْتِمْسَاكِ. وَوَجْهُ الثَّانِى أَنَّهُ اِذَاكَانَ اْلأَكْثَرُ الْجَرِيْحَ اْلقَرْحَ فَالْحُكْمُ لَهُ ِلأَنَّ شِدَّةَ اْلأَلَمِ حِيْنَئِذٍ أَرْجَحُ فِى طَهَارَةِ الْعُضْوِ مِنْ غَسْلِهِ بِالْمَاءِ فَاِنَّ اْلأَمْرَاضَ كَفَّارَاتٌ لِلْخَطَايَا.

Menurut imam Syafi’i: orang yang di anggauta wudlunya ada luka atau bengkak kemudian diperban dan ia takut mengusap perban dan bertayamum. Menurut imam Hanafi dan malik: jika yang sakit lebih kecil daripada yang sehat, maka cukup membasuh yang sehat dan disunnahkan mengusap yang sakit. Apabila yang sehat lebih kecil, maka hanya wajib tayamum. Dan tidak wajib membasuh anggota yang sehat. Menurut imam Ahmad, membasuh anggota yang wajib dan tayamum untuk sakit tidak wajib mengusap perban. Pendapat pertama mengambil langkah yang berhati-hati, dengan menambahkan: wajibnya mengusap tambalan (perban) karena diambil pada anggota badan yang shohih/sehat secara umum untuk penanggulangan. Pendapat yang kedua, ketika yang lebih banyak itu luka atau koreng, maka hukum berada padanya. Karena parahnya sakit saat demikian, lebih diutamakan dalam penyucian anggota badan dibanding harus membasuh dengan air. Karena penyakit itu adalah menghapus terhadap kesalahan (dosa).

  1. Al-Qalyubi, Juz I, Hlm. 97
(فَاِنْ تَعَذَّرَ) نَزْعُهُ لِخَوْفِ مَحْذُوْرٍ مِمَّا ذَكَرَهُ فِى شَرْحِ الْمُهَذَّبِ (قَضَى) مَعَ مَسْحِهِ بِالْمَاءِ (عَلَى الْمَشْهُوْرِ) ِلانْتِفَاءِ شُبْهِهِ حِيْنَئِذٍ بِالْخُفِّ وَالثَّانِى لَايَقْضِى لِلْعُذْرِ وَالْخِلاَفُ فِى الْقِسْمَيْنِ فِيْمَا اِذَا كَانَ السَّاتِرُ عَلَى غَيْرِ مَحَلِّ التَّيَمُّمِ فَاِنْ كَانَ عَلَى مَحَلِّهِ قَضَى قَطْعًا لِنَقْصِ الْبَدَلِ وَالْمُبْدَلِ جَزَمَ بِهِ فِى أَصْلِ الرَّوْضَةِ وَنَقَلَهُ فِى شَرْحِ الْمُهَذَّبِ ... اِلَى اَنْ قَالَ: اْلاَظْهَرُ اَنَّهُ اِنْ وَضَعَ عَلَى طُهْرٍ فَلاَ اِعَادَةَ وَاِلاَّ وَجَبَتْ. اِنْتَهَى وَعَلَى الْمُخْتَارِ السَّابِقِ لَهُ لاَ تَجِبُ.

Apabila ada udzur untuk melepas ( tambal) seperti apa yang disebut dalam syarah muhadzab maka wajib mengqodoi shalatnya dan mengusapnya dengan air menurut yang mashur, karena hal ini tidak ada keserupaan, dengan pemakai muzah ( alas kaki arab ). Menurut pendapat yang kedua tidak perlu qodlo shalatnya ( bila dilakukan ) karena termasuk udzur, perbedaan pendapat di dalam dua kelompok tersebut, dalam mas’alah, penutup (tambal) yang terdapat selain anggota tayamum (seperti lengan/muka) maka jelas harus mengqodlo shalatnya, karena ada kurangnya antara pengganti dan yang diganti. Hal itu diyakini oleh imam nawawi didalam aslinya kitab Roudloh dan menukilnya didalam kitab syarah al-muhadzab, S/d …. Menurut yang adzhar, jika waktu memasang penutup (tambal) itu dalam kondisi suci, maka tidak perlu mengulang shalatnya, kalau tidak suci maka wajib mengulang. Menurut yang mashur ( terpilih ) yang dahulu tidak wajib.

  1. Al-Qalyubi, Juz I, Hlm. 84
(فَإِنْ كَانَ) مَنْ بِهِ الْعِلَّةُ (مُحْدِثًا فَاْلأَصَحُّ اشْتِرَاطُ التَّيَمُّمِ وَقْتَ غَسْلِ الْعَلِيلِ) رِعَايَةً لِتَرْتِيبِ الْوُضُوءِ، وَالثَّانِي يَتَيَمَّمُ مَتَى شَاءَ كَالْجُنُبِ ِلأَنَّ التَّيَمُّمَ عِبَادَةٌ مُسْتَقِلَّةٌ، وَالتَّرْتِيبُ إنَّمَا يُرَاعَى فِي الْعِبَادَةِ الْوَاحِدَةِ. (فَإِنْ جُرِحَ عُضْوَاهُ) أَيْ الْمُحْدِثِ (فَتَيَمُّمَانِ) عَلَى اْلأَصَحِّ الْمَذْكُورِ، وَعَلَى الثَّانِي تَيَمُّمٌ وَاحِدٌ، وَكُلٌّ مِنْ الْيَدَيْنِ وَالرِّجْلَيْنِ كَعُضْوٍ وَاحِدٍ، وَيُنْدَبُ أَنْ يُجْعَلَ كُلَّ وَاحِدَةٍ كَعُضْوٍ .الشَّرْحُ: قَوْلُهُ: (فَتَيَمُّمَانِ) أَيْ إنْ وَجَبَ التَّرْتِيبُ بَيْنَهُمَا وَإِلاَّ كَمَا لَوْ عَمَّتِ الْعِلَّةُ الْوَجْهَ وَالْيَدَيْنِ فَيَكْفِي لَهُمَا تَيَمُّمٌ وَاحِدٌ عَنْهُمَا، وَكَذَا لَوْ عَمَّتْ جَمِيْعَ اْلأَعْضَاءِ لِسُقُوطِ التَّرْتِيبِ.

Jika pada diri seseorang yang berhadats terdapat luka maka menurut pendapat yang paling shahih adalah disyaratkannya tayammum pada saat membasuh anggota badan yang terluka karena menjaga tertibnya wudlu. Dan menurut pendapat yang kedua, dia boleh bertayammum kapanpun dia mau seperti junub (mandi besar), karena tayammum adalah ibadah yang terpisah, sedangkan menjaga tertib adalah berlaku pada satu ibadah. Seandainya terdapat dua luka pada anggota wudlu orang berhadats maka menurut pendapat ashah adalah bertayammum dua kali, sedangkan menurut pendapat yang kedua cukup dengan satu kali tayammum, dan setiap tangan dan kaki dihukumi seperti satu anggota, namun disunnahkan menjadikan setiap satu anggota sebagai satu bagian. (Syarh): yang dimaksud dengan dua kali tayammum adalah jika diwajibkan tertib antara keduanya. Namun jika tidak diwajibkan tertib antara keduanya seperti luka tersebut merata pada wajah dan kedua tangan maka cukup dengan satu kali tayammum bagi keduanya. Begitu pula jika luka tersebut merata pada seluruh anggota wudlu, karena gugurnya tertib yang (disyaratkan).

Sabtu, 02 Juni 2012

✽LANGIT MANA YANG AKAN MENAUNGIKU..?✽

Bismillahirrahmaanirrahiim...

1. أنتم أعلم بالأخبار الصحاح منا، فإذا كان خبر صحيح، فأعلمني حتى أذهب إليه، كوفيا كان، أو بصريا، أو شاميا
–> ‘Abdullah ibn Ahmad ibn Hanbal berkata: ‘Saya mendengar ayahku berkata bahwa asy-Syafi’i berkata, “Anda lebih mengetahui tentang khabar (hadits) yang shahih dibandingkan kami. Jika ada khabar yang shahih, beritahukanlah kepadaku, agar aku bisa mengikutinya, baik itu khabar kufi (dari orang-orang Kufah), bashri (dari orang-orang Bashrah), atupun syami (orang-orang Syam).”

2. كل ما قلته فكان من رسول الله -صلى الله عليه وسلم- خلاف قولي مما صح، فهو أولى، ولا 
 تقلدوني

–> Harmalah berkata: asy-Syafi’i berkata, “Setiap apa saja yang telah kukatakan ternyata bertentangan dengan hadits shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka hadits itu lebih utama untuk diikuti, dan janganlah kalian bertaqlid kepadaku.”

3.  إذا وجدتم في كتابي خلاف سنة رسول الله -صلى الله عليه وسلم- فقولوا بها، ودعوا ما قلته 

–> Dari ar-Rabi’: saya mendengar asy-Syafi’i berkata, “Jika kalian menemukan di kitabku pendapat yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka berhujjahlah dengannya (as-sunnah) dan tinggalkanlah pendapatku.”
4. أي سماء تظلني، وأي أرض تقلني إذا رويت عن رسول الله -صلى الله عليه وسلم- حديثا فلم أقل به

–> Ar-Rabi’ berkata: saya mendengar asy-Syafi’i berkata, “Langit mana yang akan menaungiku, dan bumi mana yang akan membawaku, jika aku meriwayatkan satu hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun aku tidak berhujjah dengannya.”

5. كل حديث عن النبي -صلى الله عليه وسلم- فهو قولي، وإن لم تسمعوه مني

–> Abu Tsaur berkata: saya mendengar asy-Syafi’i berkata, “Setiap ada hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka itu adalah pendapatku, meskipun kalian tak pernah mendengarnya dariku.”

6. إذا صح الحديث فهو مذهبي ، وإذا صح الحديث، فاضربوا بقولي الحائط

–> Diriwayatkan juga bahwa asy-Syafi’i berkata, “jika ada satu hadits shahih, maka itu adalah madzhabku. Dan jika ada satu hadits shahih (bertentangan dengan pendapatku), maka lemparkanlah pendapatku ke dinding.”

Sumber: Siyar A’laamin Nubalaa karya Imam adz-Dzahabi
*****

Pernyataan Imam asy-Syafi’i rahimahullah di atas menunjukkan komitmen beliau terhadap sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehebat apapun asy-Syafi’i, manusia –termasuk asy-Syafi’i sendiri– tetap harus mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan mengikuti asy-Syafi’i.

Pernyataan di atas juga menunjukkan tawadhu’nya imam asy-Syafi’i. Sebagai seorang yang sangat ‘alim, faqih dan ahli hadits, seandainya beliau mau, tentu beliau bisa mencukupkan diri dengan pendapatnya saja, tanpa perlu mendengarkan pendapat orang lain. 

Namun, asy-Syafi’i bukan orang yang seperti itu, beliau tetap meminta imam Ahmad dan yang lainnya mengingatkan sekaligus mengoreksi jika pendapat beliau tidak sesuai dengan yang ditunjukkan oleh sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. 

Bahkan, dengan tegas beliau meminta orang lain untuk meninggalkan pendapat beliau jika bertentangan dengan sunnah.

Bandingkan sifat tawadhu’ ini dengan sifat sebagian anak muda muslim saat ini, yang ilmunya tidak sampai sepersepuluhnya ilmu asy-Syafi’i, namun lagaknya sudah seperti mujtahid mutlak, begitu gampangnya menyalahkan, membid’ahkan bahkan menyesatkan orang lain yang berbeda pendapat dengannya. 

Dengan mengusung slogan kembali ke al-Qur’an dan as-Sunnah sesuai manhaj salafush shalih, mereka dengan ‘beringasnya’ menuduh semua pihak yang pendapatnya berbeda dengan kelompok mereka sebagai ahlul bid’ah dan pengikut hawa nafsu. Inikah ketawadhu’an salaful ummah yang mereka ikuti?...