Golongan
madzhab Wahabi/Salafi (pengikut paham syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab)
melarang wanita ziarah kubur dengan berpegang kepada kalimat hadits
yang diriwayatkan di kitab-kitab as-Sunan -kecuali Bukhori dan Muslim-
yaitu: “Allah melaknat perempuan-perempuan yang menziarahi kubur” (
kitab Mushannaf Abdur Razzaq jilid 3 hal. 569).
Sebenarnya
hadits ini telah dihapus (mansukh) dengan hadits yang menyebutkan bahwa
‘Aisyah ra. menziarahi kuburan saudaranya, yang diungkapkan oleh
adz-Dzahabi dalam kitab Sunan al-Kubra, Abdurrazaq dalam kitab
Mushannaf, al-Hakim an-Naisaburi dalam kitab Mustadrak Alas Shahihain
dan hadits riwayat Imam Muslim (lihat catatan pada halaman selanjutnya
).
Begitu
juga jika kita teliti lebih detail lagi, ternyata sanad hadits yang
menyebutkan “Allah melaknat perempuan-perempuan yang menziarahi kubur”
itu melalui tiga jalur utama: 1. Hasan bin Tsabit. 2. Ibnu Abbas dan 3. Abu Hurairah [ra].
Ibnu Majah dalam kitab Sunan Ibnu Majah jilid 1 halaman 502 menukil hadits tersebut melalui tiga jalur diatas.
Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab Musnad Ahmad bin Hanbal jilid 3 menukil hadits tersebut melalui dua jalur
yaitu Hasan bin Tsabit (Lihat jilid 3 halaman 442) dan Abu Hurairah
(Lihat jilid 3 halaman 337/356).
At-Turmudzi dalam kitab al-Jami’
as-Shahih jilid 2 halaman 370 hanya menukil dari satu jalur saja yaitu Abu Hurairah. Abu Dawud dalam kitab Sunan Abu Dawud jilid 3 halaman 317 hanya menukil melalui satu jalur saja yaitu Ibnu Abbas.
Sedangkan
Imam Bukhari dan Imam Muslim tidak meriwayatkan hadits itu sama sekali.
Begitu juga –jika dilihat dari sisi jalur sanad haditsnya– tidak ada
kesepakatan di antara para penulis kitab as-Sunan dalam menukil hadits
tersebut.
Ibnu
Majah, Imam Ahmad bin Hanbal dan Turmudzi sepakat meriwayatkan melalui
jalur Abu Hurairah. Sedangkan dari jalur Hasan bin Tsabit hanya dinukil
oleh Ibnu Majah dan Imam Ahmad saja, sedangkan jalur Ibnu Abbas dinukil
oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah.
Dari jalur pertama
yang berakhir pada Hasan bin Tsabit –yang dinukil oleh Ibnu Majah dan
Imam Ahmad– terdapat pribadi yang bernama Abdullah bin Utsman bin
Khatsim. Semua hadits yang diriwayatkan olehnya dihukumi tidak
kuat/lemah.
Hal itu sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Daruqi dari Ibnu Mu’in. Ibnu Abi Hatim sewaktu berbicara tentang Abdullah bin Utsman tadi menyatakan bahwa hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Utsman tidak dapat dijadikan dalil. An-Nasa’i dalam menjelaskan kepribadian Ibnu Usman tadi mengatakan: “Ia sangat mudah meriwayatkan (menganggap remeh periwayatan.-red) hadits”
(Lihat kitab Mizan al-I’tidal jilid 2 halaman 459).
Dan melalui jalur tersebut juga terdapat pribadi seperti Abdurrahman bin Bahman. Tidak ada yang meriwayatkan hadits darinya selain Ibnu Khatsim. Ibnu al-Madyani mengatakan: “Aku tidak mengenal pribadinya” (Lihat kitab Mizan al-I’tidal jilid 2 halaman 551).
Hal itu sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Daruqi dari Ibnu Mu’in. Ibnu Abi Hatim sewaktu berbicara tentang Abdullah bin Utsman tadi menyatakan bahwa hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Utsman tidak dapat dijadikan dalil. An-Nasa’i dalam menjelaskan kepribadian Ibnu Usman tadi mengatakan: “Ia sangat mudah meriwayatkan (menganggap remeh periwayatan.-red) hadits”
(Lihat kitab Mizan al-I’tidal jilid 2 halaman 459).
Dan melalui jalur tersebut juga terdapat pribadi seperti Abdurrahman bin Bahman. Tidak ada yang meriwayatkan hadits darinya selain Ibnu Khatsim. Ibnu al-Madyani mengatakan: “Aku tidak mengenal pribadinya” (Lihat kitab Mizan al-I’tidal jilid 2 halaman 551).
Dari jalur kedua yang berakhir pada Ibnu Abbas ra. terdapat pribadi seperti Abu Shaleh yang aslinya bernama Badzan.
Abu
Hatim berkata tentang dia: “Hadits-hadits dia tidak dapat dipakai
sebagai dalil”.
An-Nasa’i menyatakan: “Dia bukanlah orang yang dapat
dipercaya”. Ibnu ‘Adi mengatakan: “Tak seorang pun dari para pendahulu
yang tak kuketahui dimana mereka tidak menunjukkan kerelaannya (ridho)
terhadap pribadinya (Badzan)” (Lihat kitab Tahdzib al-Kamal jilid 4
halaman 6).
Dari jalur ketiga
yang berakhir pada Abu Hurairah ra terdapat pribadi seperti Umar bin
Abi Salmah yang an-Nasa’i mengatakan tentang dirinya: “Dia tidak kuat
(dalam periwayatan .red)”. Ibnu Khuzaimah mengatakan: “Haditsnya tidak
dapat dijadikan dalil”. Ibnu
Mu’in mengatakan: “Dia orang yang lemah”. Sedangkan Abu Hatim
menyatakan: “Haditsnya tidak dapat dijadikan dalil” (Lihat kitab Siar
A’lam an-Nubala’ jilid 6 halaman 133).
Mungkin
karena sanad haditsnya tidak sehat inilah akhirnya Imam Bukhari dan
Imam Muslim tidak meriwayatkan hadits tadi. Bukankah dua karya besar itu
memiliki gelar shahih sehingga terhindar dari hadits-hadits yang tidak
jelas sanadnya? Melihat hal-hal tadi maka hadits pelarangan ziarah kubur
buat perempuan di atas tadi tidak dapat dijadikan dalil pengharaman.
– Salah seorang ulama madzhab Wahabi/Salafi yang bernama syeikh Nashiruddin al-Albani pernah menyatakan tentang hadits pelaknatan penziarah wanita tadi dengan ungkapan berikut ini:
“Di
antara sekian banyak hadits tidak kutemui hadits-hadits yang menguatkan
hadits tadi. Sebagaimana tidak kutemui hadits-hadits lain yang dapat
memberi kesaksian atas hal tersebut. Hadits ini adalah penggalan dari
hadits: “Laknat Allah atas perempuan-perempuan yang menziarahi kubur dan
orang-orang yang menjadikannya (kuburan) sebagai masjid dan tempat yang
terang benderang” yang disifati sebagai hadits lemah (Dha’if).
Walau pun sebagian saudara-saudara dari pengikut Salaf (baca: Wahabi) suka menggunakan hadits ini sebagai dalil.
Namun saya nasehatkan kepada mereka agar tidak menyandarkan hadits tersebut kepada Nabi, karena hadits itu adalah hadits yang lemah” (Lihat kitab Silsilah al-Ahadits adh-Dho’ifah wa Atsaruha as-Salbi fil Ummah halaman 260).
Walau pun sebagian saudara-saudara dari pengikut Salaf (baca: Wahabi) suka menggunakan hadits ini sebagai dalil.
Namun saya nasehatkan kepada mereka agar tidak menyandarkan hadits tersebut kepada Nabi, karena hadits itu adalah hadits yang lemah” (Lihat kitab Silsilah al-Ahadits adh-Dho’ifah wa Atsaruha as-Salbi fil Ummah halaman 260).
Tetapi
sayangnya sampai sekarang bisa kita lihat dan alami kaum wanita
–pelaksana haji atau umrah di Makkah dan Madinah– , masih tetap dilarang
oleh ulama Madzhab Wahabi untuk berziarah di kuburan Baqi’ (Madinah) dan di Ma’la (di
Makkah), untuk menziarahi makam para keluarga dan sahabat Rasulallah
saw.. Mereka menvonis saudara-saudara mereka sesama muslim dengan
sebutan penghamba Kubur (Quburiyuun),
bahkan mereka berkepala keras menyatakan bahwa ziarah kubur bagi
perempuan adalah haram menurut ajaran Rasulallah saw dan para Salaf
Sholeh ?
Menurut
ahli fiqh, adanya hadits yang melarang wanita ziarah kubur bila ini
shohih, karena umumnya sifat wanita itu ialah lemah, sedikitnya
kesabaran sehingga mengakibat- kan jeritan tangis yang meraung-raung
(An-Niyahah), menampar pipinya sendiri dan perbuatan-perbuatan jahiliyah
dikuburan itu, yang mana ini semua tidak dibenarkan oleh agama Islam.
Begitu juga sifat wanita senang berhias atau mempersolek dirinya sedemikian rupa atau tidak mengenakan hijab sehingga dikuatirkan –dengan campur baurnya antara lelaki dan wanita– mereka ini tidak bisa menjaga dirinya dikuburan itu sehingga menggairahkan para ziarah kaum lelaki.
Begitu juga sifat wanita senang berhias atau mempersolek dirinya sedemikian rupa atau tidak mengenakan hijab sehingga dikuatirkan –dengan campur baurnya antara lelaki dan wanita– mereka ini tidak bisa menjaga dirinya dikuburan itu sehingga menggairahkan para ziarah kaum lelaki.
Hal tersebut dipertegas dalam kitab I’anatut Thalibin
jilid 2/142. Begitupun juga Al-Hafidz Ibnu Arabi (435-543H), pensyarah
hadits Turmudzi dalam mengomentari masalah ini berkata: "Yang benar
adalah bahwa Nabi saw. membolehkan ziarah kubur untuk laki-laki dan
wanita. Jika ada sebagian orang menganggapnya makruh bagi kaum
wanita, maka hal itu dikarenakan lemahnya kemampuan wanita itu untuk
bersikap tabah dan sabar sewaktu berada diatas pekuburan atau
dikarenakan penampilannya yang tidak mengenakan hijab (menutup aurat
nya) dengan sempurna".
Kalimat semacam diatas juga dinyatakan dalam kitab at-Taajul Jami’ lil Ushul jilid 2 halaman 381, atau kitab Mirqotul Mafatih karya Mula Ali Qori jilid 4 halaman 248.
Rasulallah
saw. membolehkan dan bahkan menekankan kepada umatnya untuk menziarahi
kubur, hal itu berarti mencakup kaum perempuan juga. Walau dalam hadits
tadi Rasulallah saw. menggunakan kata ganti (Dhamir)
lelaki, namun hal itu tidak lain dikarenakan hukum kebanyakan (Taghlib)
pelaku ziarah tersebut adalah dari kaum lelaki.
Ini sebagaimana yang
diungkapkan oleh Mula Ali Qori dalam kitab Mirqotul Mafatih jilid 4
halaman 248 dan at-Turmudzi dalam kitab al-Jami’ as-Shahih jilid 3
halaman 372 hadits ke-1056. Kalaupun kita harus berbicara tentang jumlah obyek yang diajak bicara (mukhatab),
terbukti dalam tata bahasa Arab walau ada seribu perempuan dan lelaki
hanya segelintir saja jumlahnya, maka kata ganti yang dipakai untuk
berbicara kepada semua –yang sesuai dengan tata bahasa yang baik dan
benar– yang hadir tadi adalah menggunakan kata ganti lelaki.
Jadi kesimpulannya ialah ziarah kubur itu tidak
disunnahkan untuk wanita bila para wanita diwaktu berziarah melakukan
hal-hal yang tidak dibenarkan oleh agama atau dimakruhkan seperti yang
tersebut diatas, tapi kalau semuanya ini bisa dijaga dengan baik, maka
tidak ada halangan bagi wanita tersebut untuk berziarah kubur seperti
halnya kaum lelaki. Dengan demikian bukan ziarah kuburnya yang dilarang,
tetapi kelakuan wanita yang berziarah itulah yang harus diperhatikan.
Mari kita lanjutkan dalil-dalil mengenai ziarah kubur bagi wanita:
–
Imam Malik, sebagian golongan Hanafi, berita dari Imam Ahmad dan
kebanyakan ulama memberi keringanan bagi wanita untuk ziarah kubur.
Mereka berdasarkan sabda Nabi saw. terhadap Aisyah ra. yang diriyatkan
oleh Imam Muslim. Beliau saw. didatangi malaikat Jibril as. dan disuruh
menyampaikan kepada Aisyah ra.sebagai berikut :
إنَّ رَبَّك بِأمْرِك أنْ تَـأتِيَ أهْلَ البَقِيْع وَتَسْتَغْفِرِلَهُمْ
Artinya: “Sesungguhnya Tuhanmu menyuruhmu untuk menziarahi para penghuni perkuburan Baqi’ untuk engkau mintakan ampun bagi mereka”.
Kata Aisyah ra; 'Wahai Rasulallah, Apa yang harus aku ucapkan bila berziarah pada mereka'? Sabda beliau saw. :
قُوْلِيْ:
السَّـلاَمُ عَلََى أهْـلِ الدِّيَـارِ مِنَ المُؤْمِنـِيْنَ
وَالمُسْلِمِيْنَ وَيَرْحَمُ الله المُسْتَقْدِمِيْنَ مِنَّا
وَالمُسْتَأخِرِيْنَ, وَإنَّا إنْشَاءَ الله بِكُمْ لآحِقُوْنَ
Artinya: ‘Ucapkanlah;
salam atasmu wahai penduduk kampung, dari golongan mukminin dan
muslimin. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya pada kita bersama, baik
yang telah terdahulu maupun yang terbelakang, dan insya Allah kami akan
menyusul kemudian’ “.
Untuk lebih jelasnya hadits yang dimaksud diatas adalah bahwasanya Nabi saw. bersabda pada Aisyah ra.:
“Jibril
telah datang padaku seraya berkata: ‘Sesungguhnya Tuhanmu menyuruhmu
untuk menziarahi para penghuni perkuburan Baqi’ untuk engkau mintakan
ampun bagi mereka.’ Kata Aisyah; ‘Wahai Rasulallah, apa yang harus aku ucapkan bagi mereka? Sabda beliau saw:
‘Ucapkanlah: Semoga salam sejahtera senantiasa tercurah bagi para
penduduk perkuburan ini dari orang-orang beriman dan orang-orang Islam,
semoga Allah merahmati orang-orang kami yang terdahulu maupun yang
terkemudian, insya Allah kamipun akan menyusul kalian’ “.
(HR.Muslim)
(HR.Muslim)
Dalam riwayat lain disebutkan: ‘Semoga
salam sejahtera senantiasa tercurahkan bagi para penghuni perkuburan
dari orang-orang beriman dan Islam, dan kamipun insya Allah akan
menyusul kalian, kami berharap semoga Allah berkenan memberi keselamatan
bagi kami dan kalian’.
Juga riwayat dari Abdullah bin Abi Mulaikah, bahwa pada suatu hari Aisyah datang dari pekuburan, maka dia bertanya:
“Ya
Ummul Mukminin, darimana anda? Ujarnya: Dari makam, saudaraku
Abdurrahman. Lalu saya tanyakan pula: Bukankah Nabi saw. telah melarang
ziarah kubur? Benar, ujarnya, mula-mula Nabi melarang ziarah kubur,
kemudian menyuruh menziarahinya”.
( Adz-Dzahabi dalam kitab Sunan al-Kubra jilid 4 halaman 131, Abdur Razaq dalam kitab Mushannaf Abdurazaq jilid 3 halaman 572/574 dan dalam kitab Mustadrak alas Shahihain karya al-Hakim an-Naisaburi jilid 1 halaman 532 hadits ke-1392).
Adz-Dzahabi telah menyatakan kesahihannya sebagaimana yang telah tercantum dalam catatan kaki yang ia tulis dalam kitab Mustadrak karya al-Hakim an-Naisaburi tersebut. (Lihat: Mustadrak al-Hakim an-Naisaburi Jil:1 Hal: 374)
( Adz-Dzahabi dalam kitab Sunan al-Kubra jilid 4 halaman 131, Abdur Razaq dalam kitab Mushannaf Abdurazaq jilid 3 halaman 572/574 dan dalam kitab Mustadrak alas Shahihain karya al-Hakim an-Naisaburi jilid 1 halaman 532 hadits ke-1392).
Adz-Dzahabi telah menyatakan kesahihannya sebagaimana yang telah tercantum dalam catatan kaki yang ia tulis dalam kitab Mustadrak karya al-Hakim an-Naisaburi tersebut. (Lihat: Mustadrak al-Hakim an-Naisaburi Jil:1 Hal: 374)
Dalam
kitab-kitab itu juga diriwayatkan bahwa Siti Fathimah Az-Zahrah ra,
puteri tercinta Rasulullah saw. hampir setiap minggu dua atau tiga kali
menziarahi para syuhada perang Uhud, khususnya paman beliau Sayyidina
Hamzah ra.
Dalam kitab Sunan at-Tirmidzi disebutkan: “Sebagian ahli ilmu mengatakan bahwa hadits itu (larangan ziarah kubur bagi perempuan) diucapkan sebelum
Nabi saw membolehkan untuk melakukan ziarah kubur. Setelah Rasulullah
saw membolehkannya, laki-laki dan perempuan tercakup dalam kebolehan
itu”. (Sunan At-TIrmidzi: 976)
Aisyah
ra. melakukan ziarah kubur, berarti apa yang dilakukan Aisyah adalah
sebaik-baik dalil dalam mengungkap hakekat hukum penziarah kubur dari
kalangan perempuan.
Hal itu dikarenakan selain Aisyah sebagai istri Rasulallah saw. yang bergelar ummul mukminin (ibu kaum mukmin) sekaligus sebagai Salaf Sholeh.
Karena Salaf Sholeh tidak hanya dikhususkan buat sahabat dari kaum lelaki saja, namun mencakup kaum perempuan juga (shahabiyah).
Hal itu dikarenakan selain Aisyah sebagai istri Rasulallah saw. yang bergelar ummul mukminin (ibu kaum mukmin) sekaligus sebagai Salaf Sholeh.
Karena Salaf Sholeh tidak hanya dikhususkan buat sahabat dari kaum lelaki saja, namun mencakup kaum perempuan juga (shahabiyah).
Hadits dari Anas bin Malik berkata:
عَنْ أَنَسٍ إبْنِ مَالِكٍ (ر) مَارَ النَّبِيِّ (ص) بِأَمْرَأَةٍ تَبْكِي عِنْدَ قَبْرِ فَقَالَ: إِتَّقِي اللهَ واصْبِرِي , فَقَالَتْ: إلَيْكَ عَنِّي فَإِنَّكَ لَمْ تُصَبْ بِمُصِيبَتِي وَلَمْ
تَعْرِفْـهُ,
فَقِيْلَ لَهَا إِنَّهُ النَّبِيِّ (ص) فَاتَتْ بَابَـهُ فَلَمْ تَجِدْ
عِنْدَهُ بَوَّابِـينَ فَقَالَتْ لَمْ أعْرِفُكَ, فَقَالَ: إِنَّمَا
الصَّبْرُ عِنْدَ صَدَمَةِ الأُولَى
.
Artinya: “Pada suatu hari Rasulallah saw. berjalan melalui seorang wanita yang sedang menangis diatas kuburan. Maka Nabi saw. bersabda: ‘Takut lah kepada Allah dan sabarlah’. Dijawab
oleh wanita itu: ‘Tinggalkanlah aku dengan musibah yang sedang
menimpaku dan tidak menimpamu!’ Wanita itu tidak tahu kepada siapakah
dia berbicara. Ketika dia diberitahu, bahwa orang yang berkata padanya
itu adalah Nabi saw., maka ia segera datang ke rumah Nabi saw. yang
kebetulan pada waktu itu tidak dijaga oleh seorang pun.
Kata wanita itu: ‘Sesungguhnya saya tadi tidak mengetahui bahwa yang berbicara adalah engkau ya Rasulallah. Sabda beliau saw.: “Sesungguh nya kesabaran itu hanyalah pada pukulan yang pertama dari datangnya musibah’. (HR Bukhori dan Muslim). Al-Bukhari memberi terjemah (judul bab) untuk hadits ini dengan judul “Bab tentang ziarah kubur,” menunjukkan bahwa beliau tidak membedakan antara laki-laki dan wanita dalam berziarah kubur.
( Shohih Al-Bukhari 3/110-116).
Kata wanita itu: ‘Sesungguhnya saya tadi tidak mengetahui bahwa yang berbicara adalah engkau ya Rasulallah. Sabda beliau saw.: “Sesungguh nya kesabaran itu hanyalah pada pukulan yang pertama dari datangnya musibah’. (HR Bukhori dan Muslim). Al-Bukhari memberi terjemah (judul bab) untuk hadits ini dengan judul “Bab tentang ziarah kubur,” menunjukkan bahwa beliau tidak membedakan antara laki-laki dan wanita dalam berziarah kubur.
( Shohih Al-Bukhari 3/110-116).
Lihat
hadits terakhir diatas ini, Rasulallah saw melihat seorang
wanita dipekuburan dan tidak melarangnya untuk berziarah, hanya di
anjurkan agar sabar menerima atas kewafatan anaknya (yang diziarahi
tersebut).
–
Al-Imam Al-Qurthubi berkata : “Laknat yang disebutkan didalam hadits
adalah bagi wanita-wanita yang memperbanyak ziarah karena bentuk
lafadhnya menunjukkan mubalaghah (berlebih-lebihan)”.
Dan sebabnya mungkin karena hal itu akan membawa wanita kepada
penyelewengan hak suami, berhias diri belebihan dan akan memunculkan
teriakan, raungan-raungan dan semisalnya.Jika semua hal tersebut tidak
terjadi, maka tidak ada yang bisa mencegah untuk memberikan izin kepada
para wanita untuk ziarah kubur, sebab mengingat mati diperlukan bagi
laki-laki maupun wanita”.
(Lihat: Al Jami’ li Ahkamul Qur`an)
.
(Lihat: Al Jami’ li Ahkamul Qur`an)
.
Muhibbuddin at-Thabari pun dalam kitabnya yang berjudul ar-Riyadh an-Nadhirah
jilid 2 halaman 330 menyebutkan bahwa: “ Suatu saat, ketika Umar bin
Khatab (Khalifah kedua ) ra. bersama beberapa sahabatnya pergi untuk
melaksanakan ibadah haji ditengah jalan ia berjumpa dengan seorang tua
yang meminta tolong kepadanya. Sepulang dari haji kembali ia melewati
tempat dimana orang tua itu tinggal dan menanyakan keadaan orang tua
tadi. Penduduk daerah itu mengatakan: ‘Ia telah meninggal dunia’. Perawi berkata: Kulihat Umar bergegas menuju kuburan orang tua itu dan di sana ia melakukan shalat. Kemudian dipeluknya kuburan itu sambil menangis”.
Nah, insya Allah jelas bagi kita bahwa ziarah kubur itu
sunnah Rasulallah saw. dan berlaku baik bagi lelaki maupun wanita.
Sebab hikmah ziarah kubur adalah untuk mendapat pelajaran dan ingat
akhirat serta mendoakan ahli kubur agar mendapat ampunan dari Allah swt.
Ziarah kubur yang dilarang adalah menyembah dan meminta-minta kepada
penghuni kubur. Adapun hadits yang menyatakan larangan ziarah kubur bagi
wanita itu (mengenai hadits larangan ini silahkan rujuk uraian diatas) telah dicabut/dihapus dengan dalil-dalil berziarah baik laki-laki maupun perempuan adalah sunnah.
Yang
lebih heran lagi kami pernah mendengar dari saudara muslim bahwa ada
orang yang pergi ke tanah suci untuk menunaikan Haji atau Umrah tapi
tidak mau ziarah pada junjungan kita Rasulallah saw., karena hal ini
dianggap bid’ah sesat.
Mungkin saudara-saudara kita ini mendapat kesalahan informasi tentang
ziarah kubur. Kalau kita membaca keterangan tadi, banyak hadits shohih
Rasulallah saw. yang menganjurkan kaum muslimin untuk berziarah, berdo’a
untuk si mayit baik pada waktu sholat jenazah maupun pada waktu
berziarah tersebut, dengan tujuan agar kita lebih mengingat pada Allah
swt., akhirat serta kita saling doa mendoa antara kaum muslimin baik
yang masih hidup maupun yang telah wafat.
Kalau
kita disunnahkan ziarah kubur pada kaum muslimin, bagaimana kita bisa
melupakan ziarah kubur makhluk Ilahi yang paling mulya dan taqwa yakni
Rasulallah saw. Tanpa beliau kita tidak mengetahui syariat-syariat
Islam, juga dengan berdiri dimuka (makam) beliau saw. kita akan lebih konsentrasi untuk ingat pada Allah dan Rasul-Nya !.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar