1. أنتم أعلم بالأخبار الصحاح منا، فإذا كان خبر صحيح، فأعلمني حتى أذهب إليه، كوفيا كان، أو بصريا، أو شاميا
–> ‘Abdullah ibn Ahmad ibn Hanbal
berkata: ‘Saya mendengar ayahku berkata bahwa asy-Syafi’i berkata, “Anda
lebih mengetahui tentang khabar (hadits) yang shahih dibandingkan kami.
Jika ada khabar yang shahih, beritahukanlah kepadaku, agar aku bisa
mengikutinya, baik itu khabar kufi (dari orang-orang Kufah), bashri
(dari orang-orang Bashrah), atupun syami (orang-orang Syam).”
2. كل ما قلته فكان من رسول الله -صلى الله عليه وسلم- خلاف قولي مما صح، فهو أولى، ولا
تقلدوني
–> Harmalah berkata: asy-Syafi’i
berkata, “Setiap apa saja yang telah kukatakan ternyata bertentangan
dengan hadits shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka
hadits itu lebih utama untuk diikuti, dan janganlah kalian bertaqlid
kepadaku.”
3. إذا وجدتم في كتابي خلاف سنة رسول الله -صلى الله عليه وسلم- فقولوا بها، ودعوا ما قلته
–> Dari ar-Rabi’: saya mendengar
asy-Syafi’i berkata, “Jika kalian menemukan di kitabku pendapat yang
bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
maka berhujjahlah dengannya (as-sunnah) dan tinggalkanlah pendapatku.”
4. أي سماء تظلني، وأي أرض تقلني إذا رويت عن رسول الله -صلى الله عليه وسلم- حديثا فلم أقل به
–> Ar-Rabi’ berkata: saya mendengar
asy-Syafi’i berkata, “Langit mana yang akan menaungiku, dan bumi mana
yang akan membawaku, jika aku meriwayatkan satu hadits dari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun aku tidak berhujjah dengannya.”
5. كل حديث عن النبي -صلى الله عليه وسلم- فهو قولي، وإن لم تسمعوه مني
–> Abu Tsaur berkata: saya mendengar
asy-Syafi’i berkata, “Setiap ada hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, maka itu adalah pendapatku, meskipun kalian tak pernah
mendengarnya dariku.”
6. إذا صح الحديث فهو مذهبي ، وإذا صح الحديث، فاضربوا بقولي الحائط
–> Diriwayatkan juga bahwa asy-Syafi’i
berkata, “jika ada satu hadits shahih, maka itu adalah madzhabku. Dan
jika ada satu hadits shahih (bertentangan dengan pendapatku), maka
lemparkanlah pendapatku ke dinding.”
Sumber: Siyar A’laamin Nubalaa karya Imam adz-Dzahabi
*****
Pernyataan Imam asy-Syafi’i rahimahullah di
atas menunjukkan komitmen beliau terhadap sunnah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Sehebat apapun asy-Syafi’i, manusia –termasuk
asy-Syafi’i sendiri– tetap harus mengikuti Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, bukan mengikuti asy-Syafi’i.
Pernyataan di atas juga menunjukkan
tawadhu’nya imam asy-Syafi’i. Sebagai seorang yang sangat ‘alim, faqih
dan ahli hadits, seandainya beliau mau, tentu beliau bisa mencukupkan
diri dengan pendapatnya saja, tanpa perlu mendengarkan pendapat orang
lain.
Namun, asy-Syafi’i bukan orang yang seperti itu, beliau tetap
meminta imam Ahmad dan yang lainnya mengingatkan sekaligus mengoreksi
jika pendapat beliau tidak sesuai dengan yang ditunjukkan oleh sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Bahkan, dengan tegas beliau
meminta orang lain untuk meninggalkan pendapat beliau jika bertentangan
dengan sunnah.
Bandingkan sifat tawadhu’ ini dengan sifat
sebagian anak muda muslim saat ini, yang ilmunya tidak sampai
sepersepuluhnya ilmu asy-Syafi’i, namun lagaknya sudah seperti mujtahid
mutlak, begitu gampangnya menyalahkan, membid’ahkan bahkan menyesatkan
orang lain yang berbeda pendapat dengannya.
Dengan mengusung slogan
kembali ke al-Qur’an dan as-Sunnah sesuai manhaj salafush shalih, mereka
dengan ‘beringasnya’ menuduh semua pihak yang pendapatnya berbeda
dengan kelompok mereka sebagai ahlul bid’ah dan pengikut hawa nafsu.
Inikah ketawadhu’an salaful ummah yang mereka ikuti?...
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
BalasHapussangat'' mencerahkan
BalasHapus